Minggu, 10 Juli 2011

ORIENTALISME DAN AL QUR’AN


ORIENTALISME DAN AL QUR’AN

A.    PENDAHULUAN

Al Quran sebagai kitab suci umat Islam di turunkan Allah Swt. sebagai mu’jizat terbesar bagi Rasul Nya. Al Quran adalah acuan utama dalam penetapan hukum-hukum Islam. Oleh sebab itu musuh-musuh Islam kapan dan di manapun, senantiasa berusaha menghancurkan Islam dengan terlebih dahulu menjauhkan pengikutnya dari al-Quran. Ada banyak tuduhan yang disampaikan oleh musuh-musuh Islam terutama kaum orientalis terhadap Al Quran. Semuanya bertujuan untuk mempengaruhi ummat dan membohongi dunia, bahwa Al Quran bukanlah wahyu Allah Swt. tetapi adalah buatan tangan manusia.[1]
Al-Qur’an al-Karim, sebagai kitab terakhir nan sempurna yang diturunkan kepada Nabi pamungkas Muhammad saw. memiliki keistimewaan khusus dari kitab-kitab langit yang lain. Kita menemukan pengakuan banyak ulama baik agama samawi maupun yang bukan atas perubahan kitab mereka bahkan terkadang menafikan ‘sifat langit’-nya kitab agama mereka. Para ilmuwan Kristen sendiri mengakui bahwa kitab Injil yang empat ditulis setelah wafatnya al-Masih oleh empat Hawari (pengikut dan murid al-Masih). Mereka tidak menulis langsung melalui diktasi al-Masih, tapi tulisan tersebut berupa remembering atas peristiwa-peristiwa yang mereka alami selama menyertai al-Masih, seperti biografi, perilaku dan nasehat-nasehat, kisah perjalanan al-Masih. Selain itu, di antara injil tersebut bahkan berisikan surat-surat yang ditulis dan dikirim oleh para Hawari dan ulama-ulama Kristen kepada pengikutnya.
Karenanya Injil bagi umat Kristen bukanlah merupakan kitab langit, tapi lebih merupakan biografi hidup al-Masih dan para Hawari. Demikian halnya umat Yahudi. Mereka mengakui bahwa dalam kitab Perjanjian Lama, tidak ada kalimat apapun yang merupakan firman langsung Tuhan kepada nabi Musa as. Sedangkan penganut Zarahustra mengakui bahwa dari 50 jilid kitab Avista, hanya satu yang mereka terima selebihnya mereka bakar. Tinggallah al-Qur’an satu-satunya kitab suci yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah saw. didiktekan langsung maupun melalui perantara dan dibacakan kepada umat manusia yang originalitasnya otentik serta terjaga. Dengan perbedaan yang tegas ini, penganut agama lain merasa bahwa bahwa al-Qur’an merupakan gangguan serius bagi kelangsungan agama mereka, dan dengan bermodalkan kedengkian, mereka kemudian melakukan kerja serius untuk merendahkan kitab suci ini.
Mereka melakukan ini dengan membawa dua semangat; pertama, berusaha menyamai posisi atau berusaha lebih dari yang mereka anggap musuh. Kedua, apabila mereka tidak dapat melakukan yang pertama, maka mereka mencari-cari kesalahan dan kelemahan musuh.
Para pembesar Gereja mengalami kebuntuan di jalan pertama, selain itu mereka juga melihat bahwa, kaum muslim sendiri tidak memiliki kemampuan atau kemungkinan merubah al-Qur’an, maka mereka memilih menggembar-gemborkan serta memperluas isu perubahan al-Qur’an. [2]
Kini, kajian Islam ala orientalis sudah mulai berkembang di dunia Islam, termasuk di Indonesia, dan setiap tahun, ribuan sarjana Muslim belajar tentang Islam kepada kaum Yahudi-Kristen. Wacana dekonstruksi konsep wahyu dan tafsir al Qur’an merupakan wacana yang berkembang pesat di Indonesia saat ini. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” Al Qur’an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al Qur’an. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan Guru Besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap Al Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. Hampir satu setengah abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al Qur’an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al Qur’an adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible, akan tetapi mereka tidak berhasil. [3]
Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Quran tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Quran (theories of borrowing and influence). Sebagian mereka bahkan berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi 'teori pinjaman dan pengaruh' itu, terutama dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain). Ada pula yang membandingkan ajaran Al-Quran dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka katakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Quran banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.
Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson, " “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Quran] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Tapi, bagaimanapun, segala upaya mereka tak ubahnya bagaikan buih, timbul dan pergi begitu saja, berlalu tanpa pernah berhasil mengubah keyakinan dan penghormatan umat Islam terhadap kitab suci Al-Quran, apalagi membuat mereka murtad.[4]
Berikutnya, dalam makalah ini akan dibahas tentang makna dan istilah orientalisme, sejarah orientalisme, tokoh-tokoh orientalisme, pandangan mereka terhadap Al Qur’an, metodologi orientalis dalam tafsir, dan analisis kritis terhadap orientalisme.

B.     PEMBAHASAN

a.      Makna dan Istilah orientalisme
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Orientalisme adalah gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang negara-negara timur Islam. Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastera, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah dengan menyebarkan kemunduran cara berfikir dunia Islam dalam pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat.[5]
Sejak masa modern kegiatan orang-orang Barat dalam lapangan orientalisme semakin bertambah. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain:[6]
1.      Perkumpulan Asia
Pada mulanya perkumpulan ini didirikan oleh kaum penjajah untuk mempelajari seluk beluk Negara-negara jajahannya serta mengenal bahasa, kesusasteraan, adat kebiasaan, dan psikologi orang-orang yang dijajahnya, sehingga kekuasaan kaum penjajah tersebut bisa mempunyai landasan yang kuat. Perkumpulan Asia yang tertua ialah yang didirikan di Jakarta (Indonesia), juga di  London (1723), dan juga di perancis (1820).
2.      Seminar
Seminar-seminar juga merupakan salah satu corak kegiatan orang-orang orientalist. Seminar-seminar tersebut didirikan di kota-kota besar Eropa, dengan dihadiri oleh orientalis-orientalis dari tiap-tiap Negara dan sarjana-sarjana serta pujangga-pujangga dari negeri timur. Didalam seminar mereka, dibahaslah berbagai persoalan negeri timur dan mengadakan penilaian terhadap usaha mereka. Seminar pertama diadakan pada tahun 1873 M di Paris, kemudian berbagai seminar menyusul sesudah itu.
3.      Perpustakaan
Orang-orang Barat mengumpulkan kitab-kitab kearaban dan keislaman sejak masa silam, ketika kaum muslimin menghadapi kekalahan di Andalusia, sicilia, dan Itali, juga selama masa perang salib dan ketika mereka memasuki Negara-negara islam sebagai penyerang dan penjajah. Diantara perpustakaan-perpustakaan tersebut adalah perpustakaan Berlin, Paris, Britanika di London, Leiden dan Madrid.
4.      Lembaga-lembaga Bahasa timur
Di Ibu-ibu kota besar Eropa terdapat sekolah-sekolah bahasa timur yang dikunjungi oleh siswa-siswa Eropa agar setelah keluar dari sekolah-sekolah tersebut mereka dapat hidup di negeri-negeri timur, sebagai pedagang atau pegawai, pelancong atau penjajah. Diantara sekolah-sekolah timur yang terkenal adalah sekolah bahasa timur di London, Paris, dan Berlin. Di sekolah timur London, ada 30 bahasa timur yang diajarkan.

b.      Sejarah Orientalisme
Hubungan dunia barat dengan dunia timur telah dimulai sejak masa kejayaan dunia timur, yaitu ketika dunia timur ini penuh dengan pusat-pusat ilmu pengetahuan, perpustakaan, dan buku-buku berharga. Orang-orang barat pada waktu itu belajar pada ulama-ulama timur, pada filosofnya dan pada ahli matematikanya. Dunia Eropa ketika itu masih dalam keadaan tidur, sedang dunia timur telah selesai atau hampir selesai dalam perjuangannya yang lama untuk ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Setelah dunia Eropa bangun, maka terlihat olehnya suatu bangsa asing telah menyuburkan sebagian negerinya dengan berbagai macam ilmu, kesenian, dan kesusastraan, yaitu negeri Andalusia (Spanyol). Sejak saat itu, Orang-orang Eropa melihat negeri tersebut dengan penuh perhatian dan kekaguman dan mereka ingin mengetahui ilmu-ilmu yang ada di dalamnya.[7]
Hal yang paling menarik perhatian orang-orang Eropa ialah kebudayaan Islam di Andalusia. Oleh karena itu, sejak abad ke X Masehi mereka berdatangan ke negeri tersebut untuk mengambil ilmu-ilmu yang dimiliki oleh kaum muslimin, berupa ilmu  kedokteran, ilmu teknik, ilmu matematika, ilmu astronomi, dan ilmu-ilmu lainnya untuk mereka terjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kesusasteraan pada waktu itu sehingga negeri tersebut menjadi kegiatan ilmiah di Eropa, baik berupa kegiatan yang mempelajari atau kegiatan menerjemahkan. Ilmu-ilmu yang diperoleh mereka dari negeri tersebut menjadi faktor utama bagi kegiatan mereka. Orang yang pertama-tama mempunyai kegiatan tersebut adalah pemuka-pemuka agama Masehi, dengan dibantu oleh orang-orang Yahudi.
Diantara penguasa-penguasa Negara pada waktu itu yang banyak memberikan perhatian terhadap penterjemahan ilmu-ilmu kaum muslimin dan kesusasteraannya ke dalam bahasa Latin ialah Frederick II, raja Sicilia (1250 M), kemudian Alvonso, raja Castille. Alvonso tersebut pernah mengumpulkan para penterjemah bahasa, seperti yang pernah dilakukan oleh khalifah Al Makmun dan ia memerintahkan menerjemahkan sebagian besar kitab-kitab Arab. Berita tersebut banyak tersebar di kalangan raja-raja Eropa, kemudian kebanyakan dari raja-raja tersebut melakukan penerjemahan pula. Dan sejak saat itulah Eropa mulai melampaui masa belajar dan menunjukkan kemampuannya sendiri dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Berdasarkan ilmu-ilmu lama itu, mereka mengolahnya dan membangun ilmu baru yang sampai sekarang masih mengalami perkembangan, dan ilmu baru itulah yang sekarang menjadi dasar kebudayaan barat sekarang. [8]
Kontak timur (Islam) dan barat pada awalnya lebih didominasi oleh konflik politik yang kemudian acapkali ditandai dengan saling member stereotip, saling menghina, dan menimbulkan konflik. Konflik Islam-Barat secara historis dimulai sejak terjadinya perang Yarmuk dan Ajnadin pada masa kepemimpinan Umar bin Khottob yang puncaknya terjadi pada perang Salib tahun 1906-1291 M.[9]Peperangan panjang yang akhirnya dimenangkan oleh Islam ini menjadi bibit kebencian barat terhadap Islam. Bibit kebencian yang berbuntut dendam itu dapat menemukan pintu gerbang pembalasan sejak Jengis Khan dan Hulagu Khan menguasai beberapa daerah kekuasaan Islam. Kekalahan Islam dari bangsa Mongol ini membuka pintu gerbang yang seluas-luasnya bagi Barat untuk melakukan penetrasi ke berbagai Negara Islam.[10]
Sebelum barat mendominasi pengetahuan, termasuk politik dan ekonomi, Islam historis telah menunjukkan supremasinya dalam bidang-bidang tersebut. Hingga saat ini, supremasi Islam tersebut dua kali lebih panjang waktunya daripada  supremasi barat saat ini.[11]
Kita menyadari bahwa sejak abad ke 18, ilmu pengetahuan Barat yang sangat empiristis itu menampakkan keberhasilannya hingga dapat memadamkan dominasi dan supremasi pengetahuan Islam. Bahkan belakangan dominasi dan supremasi itu mengalir pada aspek-aspek kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, dan kebudayaan yang semuanya itu berujung pada Imperialisme[12] dan Kolonialisme[13] Barat atas Islam.[14]
Studi Al Qur’an untuk pertama kalinya dilakukan oleh kelompok kajian orientalisme yang pada awal kemunculannya bertautan erat dengan latar belakang psiko-historis hubungan Islam dan Barat di bidang intelektual, perdagangan dan peperangan sebagaimana yang digambarkan di atas. Oleh sebab itu, Studi Al Qur’an dalam kajian orientalisme tidak hanya berorientasi pada hubungan emosi-intelektual, tetapi juga emosi-politis ketimuran, yakni dalam rangka memperlancar ekspansi politik Barat terhadap Timur.[15] Hal ini setidaknya ditandai dengan kehadiran para orientalist di timur (Islam) yang juga berfungsi sebagai penasehat penjajah, disamping melakukan kajian-kajian ilmiah.[16]
Secara historis studi Al Qur’an dikalangan kelompok ini dimulai kunjungan Peter, biarawan Cluny, ke Toledo pada catur wulan kedua abad ke-12. Perhatiannya terhadap Islam yang sangat besar membawanya berkeinginan untuk membentuk tim yang bertugas menghasilkan karya yang secara bersama-sama akan dijadikan landasan kajian akademik keislaman. Robertus Retinitis dari Keton, bagian dari anggota tim tersebut berhasil menerjemahkan Al Qur’an kedalam bahasa latin pada juli 1143. Terjemahan Al Qur’an kedalam bahasa inggris kemudian dilakukan oleh Alexander Ros dari Scotlandia pada tahun 1649.[17]
Pada abad ke 19 kajian Al Qur’an dibarat mengalami kemajuan yang pesat. Pada tahun 1844 Gustafwheel menulis sebuah karya monumental dengan judul Historische – Kritische Einletung in den Koran. Pada tahun1857, karya cendekiawan muda Tiodore Noldeke diterbitkan D’gttingen pada tahun 1860 sebagai Geschichte des Qoran, dan kemudian menjadi dasar kajian Al Qur’an.[18]


c.       Tokoh-tokoh Orientalist dan karya-karya mereka
Karya terbesar yang telah dipersembahkan oleh orientalist adalah Ensyclopedia Of Islam yang ditulis dalam tiga bahasa yaitu bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman, dimana mereka saling bekerjasama dan membantu dalam menerbitkannya, masing-masing menurut keahliannya sendiri. Karya tersebut pertama-tama dimulai pada tahun 1908 dalam beberapa jilid, dan sejak beberapa tahun yang lalu diulangi lagi penerbitannya dengan mendapat bantuan pula dari sarjana-sarjana dunia timur. [19]
Banyak tokoh-tokoh orientalist yang dengan karya-karya mereka, dengan kekurangan dan kelebihannya telah memberikan sumbangan terhadap bahasa Arab, kesusasteraannya, dan ilmu-ilmunya. Berikut akan disebutkan beberapa diantara mereka berdasarkan negeri asalnya.[20]
                  Dari Perancis
1.      De Sacy (wafat 1838 M)
Ia adalah pendiri perkumpulan Asia di Perancis. Diantara karyanya adalah terjemahan terhadap buku “Kulliah Wa Daminah”, “Mawamat Al Hariri”, “Alfiyah Ibnu Malik”, dan “Al Burdah”. Karangannya sendiri ialah tentang sejarah bangsa arab pada masa jahiliyah dan tentang agama orang-orang Duruz.
2.      Cantremere (wafat 1857)
Karyanya adalah terjemahan terhadap buku “Tarichul Mamalik” dan menerjemahkan buku “Muqaddimah Ibnu Khaldun” dalam bahasa arab dan Perancis.
3.      De Parceval
Karyanya yang terkenal adalah “Pendahuluan Sejarah Arab” yang terdiri atas tiga jilid.
4.      Carra De Foux
Karyanya yang paling baik ialah “Tokoh-tokoh Fikir Islam” (Les Penseursde I’Islam) dalam lima jilid dan buku Filsafat Ketimuran.
5.      Massignon
Ia adalah anggota lembaga Bahasa Arab di Mesir. Diantara karya-karya pentingnya adalah “Berita-berita tentang Al Hallaj dan orang-orang sufi.” Ia juga banyak menulis pembahasan-pembahasan yang bernilai dalam Ensyclopedia Of Islam.
                  Dari Inggris[21]
1.      Edward lane
Ia berkunjung ke Mesir tahun 1825 dan mempelajari dengan baik terhadap adat kebiasaan Mesir dan berhasil mengarang buku “Akhlak orang Mesir dan adat kebiasaannya pada abad IXX”. Dia juga mengarang kamus Lexicon, yaitu kamus Arab-Inggris, dan Inggris-Arab.
2.      William wright (wafat 1899 M)
Diantara buku-bukunya yang terkenal ialah tentang :Grammar Arab” dan “Perbandingan antara Bahasa-bahasa Smith”
3.      Sir Thomas Arnold
Diantara karya-karya yang mempunyai pengaruh besar adalah “Penyiaran islam” (The Preaching of Islam).
4.      Margoliouth
Ia menjadi terkenal karena menyiarkan kitab “Mu’jamul Udaba’” karangan Yaqut al Hamawari, kitab “Hamasatul Buhturi” dan kitab “Nisyawanul Mahdharah”.
5.      Nicholson
Ia mempunyai buku yang baik sekali tentang sejarah kesusasteraan Arab. Ia terkenal dengan pembahasan-pembahasan yang istimewa tentang soal-soal tasawuf Islam.
6.      Gibb
Ia menjadi anggota lembaga Bahasa arab di Mesir dan mempunyai perhatian yang khusus terhadap sejarah kesusasteraan Arab modern dan terhadap sejarah Islam.


                  Dari Jerman
1.      Freitag (wafat 1861 M)
Diantara karya-karyanya ialah Kamus Arab-Latin empat jilid, Ia juga menerbitkan kitab “Mu’jamul Buldan” susunan Yaqut dengan diberi index dan keterangan-keterangan yang baik sekali.
2.      Flugel  (wafat 1780 M)
Pembahasannya yang terkenal adalah tentang aliran-aliran nahwu Arab sampai abad X Masehi.
3.       Wustenfield
Ia adalah orientalist Jerman yang paling giat. Diantara karyanya adalah penyiarannya terhadap kitab  “Tarichu Makkah”, dan banyak kitab-kitab lainnya yang disiarkannya, dikoreksi dan dibubuhi index-index yang sangat berharga.
                  Dari Belanda
1.      Dozy (wafat 1883)
Karangannya yang terkenal ialah tentang Sejarah Islam di spanyol dalam empat jilid dan kamus arab dua jilid.
2.      De Goeje (wafat 1909)
Ia menyiarkan buku Gharibuul Hadits karya Abu ubaid Al qasim bin Salam yang merupakan manuskrip Arab tertua sesudah manuskrip Al qur’an.
                  Dari Rusia
            Dari negeri ini kita mengenal seprang orientalis kenamaan yaitu Kratchovskki (1883-1951). Ia banyak memberikan perhatian khusus terhadap kesusasteraan Arab modern. Ia menjadi guru besar pada Universitas Kairo untuk beberapa waktu lamanya. Karya-karyanya yang baik yang berupa karangan atau terjemahan lebih dari 300 buah. Diantaranya ialah “Roman Sejarah dalam kesusasteraan Arab modern”.
                  Dari Hongaria
            Orientalis dari negeri ini adalah Goldziher (wafat 1929). Ia adalah keturunan Yahudi dan mendalami persoalan-persoalan bahasa Arab dan syariat Islam. Karyanya yang terkenal ialah “Aqidah dan hokum dalam Islam” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dari Negara-negara yang lain
            Orientalis-orientalis yang lain adalah Santillana, Nallino, Guidi dari Italia, Baron Kemer dan Dr. Muller dari Austria, Van Dijk, D.B. Mc.Donald dan Charles Adams dari Amerika, Karimaki dari Polandia, Paul Kraus dari Cekoslavia, dan masih banyak tokoh yang lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam makalah ini.   
d.      Metodologi Orientalis dalam tafsir
Fazlur rahman dalam pendahuluan bukunya,The Major Themes Of The Qur’an, menyebutkan tiga tipe karya orientalis tentang Al Qur’an. Pertama, karya-karya yang ingin membuktikan keterpengaruhan Al Qur’an oleh tradisi Yahudi dan Kristen. R. Bell dalam bukunya The Origin Of Islam and it’s Christian Environment jelas sekali mengemukakan bahwa Islam tidak lain hanyalah kepanjangan dari agama Kristen, dan Al Qur’an hanyalah produksi Muhammad yang disusun berdasarkan tradisi bible yang sudah berkembang saat itu di kota Mekkah. Berkaitan dengan pandangannya itu, Bell mengelaborasi argument-argumen historis bahwa Muhammad, baik secara langsung maupun tidak, telah mengadopsi ajaran-ajaran Kristen ketika berhubungan dengan orang-orang Kristiani.[22]
John Wansbrough dengan metode Literary Critisism (kritik sastra) yang digabungkan dengan Historical Critisism (kritik sejarah) menyimpulkan dalam karyanya Qur’anic Studies bahwa Al Qur’an merupakan perpaduan dari berbagai tradisi, termasuk di dalamnya tradisi Yahudi, dan bahwa Al Qur’an bukanlah wahyu Tuhan, tetapi merupakan ciptaan manusia. Harris Birkeland ketika menafsirkan ayat satu sampai tiga surat al maun yang mengandung kecaman terhadap orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak mengasihi orang-orang lemah, mengatakan secara eksplisit, “And Mohammad must probably was under the influence of Cristian ideas concerning problems of that kind”. Pandangan ini merupakan Common Of  View kalangan orientalis menunjukkan bahwa mayoritas para orientalis menolak transendensi asal usul Al Qur’an dan meyakini bahwa Al Qur’an adalah refleksi Nabi Muhammad tentang tradisi dan kondisi masyarakat arab pada saat itu, dan karenanya ia bersifat cultural dan intransenden.[23]  
Kedua, karya-karya orientalis yang lebih menekankan pada pembahasan sejarah dan kronologi-kronologi Al Qur’an. Berbeda dengan klasifikasi pertama yang menggunakan pendekatan Experiental historicism dimana sejarah Muhammad dan sejarah Al Qur’an dihubungkan dengan obyek-obyek eksternal, pendekatan yang diterapkan pada klasifikasi kedua ini lebih mengarah pada historisisme internal Al Qur’an. Data-data intrinsic lafaz-lafaz Al qur’an (Literary Forms) mendapat sorotan yang paling banyak dalam menentukan kronologi turunnya Al Qur’an.
Ketiga, karya-karya orientalis yang membahas tema-tema tertentu dari al Qur’an. Kategori ini biasanya menggunakan metode Croos refrentiallity of the Qur’an, dalam arti bahwa seluruh ayat yang berkaitan dengan topic tertentu digabungkan dan dikomparasikan dengan tujuan mendapatkan pengertian yang komprehensif. Metode ini tidak asing lagi bagi sarjana-sarjana Muslim (dalam bahasa Arab disebut At Tafsir al Maudhu’i). Meski demikian, kajian orientalis dalam hal ini seperti yang dilakukan oleh Kenneth Craagg dengan bukunya The mind of the Qur’an, tampaknya bertujuan untuk meyakinkan bahwa ajaran-ajarannya memiliki banyak kemiripan dengan ajaran injil, terutama yang berkaitan dengan moral.[24]
Para orientalist abad ke 19 secara berlebihan memikirkan upaya untuk menemukan “sumber” pernyataan-pernyataan Al Qur’an. Oleh sebab itu, sejak awal pengkajiannya para orientalis bersusah payah untuk menemukan kesamaan informasi dan ujaran-ujaran Al Qur’an dengan kitab sebelumnya. Jika mereka tidak menemukan sumber dari kitab sebelumnya. Jika mereka tidak menemukan sumber dari kitab-kitab sebelumnya, kemudian mempercayai bahwa Al Qur’an adalah ujaran tak tercipta dari Tuhan, mereka mungkin mengkaji sumber dalam arti pengaruh luar terhadap pemikiran orang-orang arab pada zaman nabi Muhammad SAW.
e.       Pandangan Orientalis tentang Al Qur’an
Di Munich Jerman, sebelum perang dunia ke dua tahun 1939-1945 proyek penulisan dan penyebarluasan tulisan-tulisan menyangkut al-Qur’an digalakkan. Untuk menjamin save-nya karya-karya tersebut, dibangunlah kemudian sebuah pusat reseach dan kepustakaan yang mereka namakan The Qur’anic Centre.
Ribuan naskah al-Qur’an dalam beragam bentuk dari berbagai kota dan negara dikumpulkan serta terjaga dengan baik di tempat itu. Setelah dilakukan penelitian panjang, mereka menemukan bahwa dari semua naskah-naskah al-Qur’an dalam bentuk sama, tidak ditemukan perubahan atau kelainan satu naskah al-Qur’an dengan naskah al-Qur’an yang lain. Tidak adanya perbedaan dari masing-masing naskah memustahilkan kemungkinan campur tangan manusia dalam ‘proyek’ kitab suci ini.
Salah satu kerja keras yang dilakukan oleh kaum Orientalis adalah penelitian seputar sejarah dan metodologi penulisan dan pengumpulan al-Qur’an. Isu perubahan al-Qur’an. Dari usaha mereka tersebut dimulai dari banyaknya mushaf al-Qur’an masing-masing sahabat. Bukan hanya memperluas beberapa perbedaan yang ada dalam mushaf-mushaf sahabat tersebut, isu yang lebih serius kemudian dikembangkan yaitu perubahan al-Qur’an.
Selain tuduhan di atas, Belacher menulis; ayat-ayat yang turun di Makkah belum dikumpulkan dan tidak ada di dalam al-Qur’an sekarang. Pengoleksian dan penulisan ayat al-Qur’an dimulai di Madinah, karenanya Qur’an yang ada sekarang ini hanya memuat ayat-ayat yang turun di Madinah saja. Dr. Dasuqy memberikan jawaban yang atas tuduhan ini. Ia menulis; “ayat yang turun di Makkah sekitar 19/30 dari keseluruhan ayat al-Qur’an, atas dasar apa Belacher tidak memperhatikan dan menafikan hal ini?”
Rudi Paret, orirentalis asal Jerman dalam mukaddimah terjemahan al-Qur’an bahasa Jermannya, menulis; “kami tidak mendapatkan bukti apa-apa yang bisa meyakinkan kami walau satu ayat saja yang original berasal dari nabi Muhammad.” Belacher jauh menukik ke jantung mazhab-mazhab dalam Islam. Dengan mengorek-ngorek riwayat simpang siur dari beberapa mazhab semisal Mu’tazilah, Abadhiyah dan Syi’ah dan lain-lain. Tuduhan yang paling keras ditujukan kepada mazhab Syi’ah. [25]
Dalam akhir jilid ke empat Eksiklopedia Pengetahuan Leinden, Buhl menulis Tahrif. Dengan berang, ia menuduh al-Qur’an telah melakukan telah mendistorsi Taurat dan Injil. Sebenarnya dalam tulisannya ini, ia lebih menekankan penyerangan terhadap al-Qur’an dalam misinya mempertahankan Taurat dan Injil. Selebihnya ia hanya menulis sedikit tentang keyakinan perubahan al-Qur’an dalam mazhab-mazhab Islam, itu pun dengan dua kekeliruan fatal telah dilakukannya.
Diantara pendapat-pendapat orientalist tentang Al qur’an adalah,[26] Pertama, Muhammad mempelajari ilmu-ilmu Al Quran dari seorang Pendeta Nashrani ketika beliau mengikuti pamannya berdagang ke Negeri Syam. Dalam sejarah memang Rasululah pernah berkunjung ke Negeri Syam semasa kecilnya dan bertemu dengan pendeta Nasrani; Bukhaira, juga pernah menemuai paman Khadijah seorang Nasrani, Waraqah bin Naufal di Makkah. Namun yang pasti sejarah tidak pernah menceritakan akan adanya pembicaraan tentang kenabian sebelum beliau diutus Allah swt. Adapun setelah Beliau menjadi nabi mereka mengakui dan mengambil pelajaran dari beliau.
Allah Swt. dalam Al Quran menegaskan:
ولقد نعلم انهم يقولون إنما يعلمه بشر, لسان الدي يلحدون إليه اعجمي وهـدا لسان عربي مبي
Kedua, kaum orientalis mengatakan bahwa Muhammad Saw. memiliki kecerdasan, firasat, kecerdikan, dan renungan yang benar, yang membuatnya memahami baik dan buruk, benar dan salah melalui inspirasi, mengenali perkara-perkara rumit melalui kasyaf. Artinya, Al Quran hanyalah bentuk dari penalaran intelektual Muhammad.
Kita semua sepakat, bahwa Al Quran terutama dari segi pemberitaan tentang masa depan dan kisah-kisah masa lalu haruslah merupakan petunjuk dan pengajaran dari suatu zat yang maha mengetahui segala sesuatu. Kisah-kisah sejarah yang termaktub dalam Al Quran dengan kejadiannya yang tepat sekalipun masa yang dilampui sejarah itu amat jauh, bahkan sampai pada proses awal mula penciptaan alam semesta, tidaklah mungkin bersal dari firasat dan penalaran. Dalam Al Quran, Allah Swt. menegaskan:
تلك من انباء الغيب نوحيها اليك ما كنت تعلمها انت ولا قومك من قبل هـدا فاصبر إن العاقبة للمقين
Tuduhan lainnya adalah bahwa periwayatan Al Quran tidak mutawatir. Mereka meragukan kesinambungan dalam periwayatan Kitabullah. Hal ini menurut mereka berdasarkan tiga hadits Rasulullah Saw. yang hanya menyebutkan tujuh orang sahabat penghafal Al Quran. Mereka itu adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, abu Zaid dan abu Darda
Para ulama menanggapi tuduhan ini dengan berbagai jawaban. Pertama, bahwa yang dimaksud dalam hadits ini bukanlah pembatasan; artinya bukan hanya tujuh orang ini sahabat yang menghafal Al Quran. Mereka disebutkan dalam hadits karena menguasai tujuh jenis bacaan Al Quran (Qiraah Sab’ah)
Kedua, dalam hadis-hadis sahih disebutkan bahwa ketika perang Yamamah terdapat 70 orang penghafal Al Quran yang gugur. Berarti jika ditambahkan dengan mereka yang tidak terbunuh; yang tinggal di Kota Mekah dan Madinah, maka jumlah penghafal Al Quran saat itu sangat banyak.
Ketiga, Tidak disebutkan dalam tujuh orang penghafal Al Quran ini para sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar dan yang lainnya. Padahal tidak seorangpun meragukan bahwa mereka juga adalah penghafal-pengafal Al-Quran.
Keempat, Bahwa syarat kesinambungan tidak mesti diriwayatkan oleh semua sahabat. Dengan hanya di riwayatkan oleh tujuh orang pun sesuatu tetap dikatakan berkesinambungan. Demikian pula ayat-ayat Al Quran
Tuduhan berikutnya, mereka mengatakan bahwa di dalam Al-Quran terdapat banyak kesalahan penulisan.[27] Sebagai hujjah, mereka menyebutkan beberapa hadits Rasululah Saw. antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah, dari ayahnya berkata; Saya bertanya kepada Aisyah Ra. Tentang kesalahan pada firman Allah swt إن هدان لساحران :
والمقيمين الصلاة والمؤتون الزكاة dan firman Allah إن الدين آمنوا والدين هادو والصابـئـون Aisyah menjawab: Wahai keponakanku, ini adalah kekeliruan para penulis Al Quran
Para ulama menjawab persoalan ini dengan mengemukakan beberapa pendapat.
Pertama, bahwa Urwah tidak bertanya tentang tulisan tapi bertanya tentang huruf-huruf dalam bacaan yang berbeda yang di izinkan Allah untuk di ajarkan Rasulullah kepada umatnya. Dan Urwah menyebutnya sebagai kesalahan (لحن). Aisyah menjawabnya dengan menggunakan kata ‘lahn’, menyesuaikan dengan pertanyaan. Kata لحن sendiri bisa berarti bacaan.
Adapun ayat إن هدان لساحران sesuai dengan bahasa Suku Harits bin Ka’ab, Khas’am, Kinanah dan lainnya yang menetapkan huruf alif untuk mutsanna dalam semua keadaan I’rabnya. Pendapat berikutnya bahwa kata هدان tidak berubah karena menunjukkan makna isyarat. Pendapat ini di pilih oleh Ibnu Hajib.
Ulama lainnya mengatakan bahwa إن bermakna نعم , sehingga tidak bekerja atau tidak merubah kata lain yang dimasukinya. Kata هدان menjadi mubtada’ dan ساحران khabar untuk mubtada’ yang dibuang. Asli kalimatnya adalah إن هدان لـهما ساحران. Dan masih banyak pendapat-pendapat lainnya yang menunjukkan tidak adanya kesalahan dalam penulisan ayat ini.
Ayat berikutnya لكن الراسخون فى العلم منهم والمؤمنون يؤمنون بما انزل نليك وما انزل من قبلك والمقيمين الصلاة والمؤتون الزكاة, kata والمقيمين dimanshubkan karena menunjukkan pujian, pendapat lainnya mengatakan dimajrurkan, mengikuti kata بما انزل . Masih banyak pendapat lainnya dikemukakan oleh para ulama dalam buku-buku mereka. Tentang ayat selanjutnya إن الدين آمنوا والدين هادو والصابـئـون , kata الصابـئـون ma’thuf dari الدين هادو sehingga kedudukannya menjadi marfu’. Maksud ayat sebagai berikut إن الدين آمنوا من آمن بالله kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan tentang orang-orang ahli kitab والدين هادو والصابـئـون.
Tuduhan berikutnya adalah tentang perubahan beberapa ayat dalam Al Quran. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Abdullah, dari Abu Hatim as Sajstany, dari Ubbad bin Suhaib dari Auf, bahwasanya Hajjaj bin Yusuf telah merubah 11 huruf dalam Mushaf Usmany.
      Para Ulama menilai bahwasanya perawi hadits ini lemah. Hajjaj tidak merubah apapun dalam Mushaf Usmani kecuali meletakkan tanda baca saja. Sebagai dalilnya, bahwa Para Qari di zaman itu, zaman Utsman dan zaman sesudah Hajjaj tidak seorangpun yang membaca Al Quran dengan bacaan berbeda, yang tidak disepakati kebenarannya. Hajjaj sendiri di benci oleh banyak orang. Tidak mustahil hadits ini sengaja dipalsukan untuk menjelekkan Hajjaj dan menuduhnya merubah kitab suci Al Quran.
Kalangan orientalis seperti Arthur Jeffery dan kawan-kawan bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran. Namun hingga kini tetap kokoh “Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani,” kutipan ini adalah pernyataan Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris. Pernyataan itu ia sampaikan tahun 1927.
Mengapa pendeta Kristen yang juga orientalis ini mengatakan seperti itu? Tentu saja, ia bukan sedang bergurau. Pernyataan orientalis-missionaris satu ini karena dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci nya Al-Quran.[28]
Perlu diketahui mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen telah lama meragukan otentisitas Bible. Mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan.
Pernyataan ini pernah disampaikan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland, dalam The Text of the New Testament (Michigan: Grand Rapids, 1995). Menurut Barbara, sampai pada permulaan abad keempat, teks Perjanjian Baru dikemmengembangkan secara leluasa. Yang jelas banyak yang melakukan koreksi.
Pandangan seperti ini tidaklah sendiri. Saint Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi juga mengeluhkan fakta banyaknya penulis Bible yang diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.
“Mereka menuliskan apa yang tidak ditemukan tapi apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba meralat kesalahan orang lain, mereka hanya mengungkapkan dirinya sendiri,” ujar Jerome sebagaimana dikutip dalam The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption and Restoration (1992).
Disebabkan kecewa dengan kenyataan semacam itu, maka pada tahun 1720 Master of Trinity College, R. Bentley, menyeru kepada umat Kristen agar mengabaikan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru yang diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement. Seruan tersebut kemudian diikuti oleh munculnya "edisi kritis" Perjanjian Baru hasil suntingan Brooke Foss Westcott (1825-1903) dan Fenton John Anthony Hort (1828-1892).
Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan seruan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Fluegel menerbitkan 'mushaf' hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus Arabicus. Naskah ini sempat dipakai “tadarrus” oleh aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain Flegel, datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal (JIL).[29]
Kemudian muncul Theodor Noeldeke yang ingin merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh segelintir kaum Liberal di Indonesia.
Juga Arthur Jeffery yang datang tahun 1937 yang berambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam ‘mushaf tandingan’ (ia istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Quran (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yg belum lama ini di “amini” kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.
Al-Quran merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad saw. khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. Bagi mereka, Musa atau 'Moses' cuma tokoh fiktif belaka (invented, mythical figure) dalam dongeng Bibel, sementara tokoh ‘Jesus’ masih diliputi misteri dan cerita-cerita isapan-jempol.
Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian 'Jesus historis', mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah hidup Nabi Muhammad saw? Demikian seru mereka. Muncullah Arthur Jeffery yang menulis The Quest of the Historical Mohammad, dimana ia tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad saw sebagai "kepala perampok" (robber chief). Usaha Jeffery tersebut diteruskan oleh F. E. Peters dan belum lama ini dilanjutkan oleh seseorang yang menyebut dirinya "Ibn Warraq."
Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian Orientalis terhadap hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk sejarah hadits. Mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad saw. wafat, bahwa hadits mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematik (isnad), menurut mereka, baru muncul pada zaman Daulat Abbasiyyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadits hanya sedikit saja yang sahih, manakala sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya.
Pendapat ini telah banyak dikutip. Diantaranya dalam Muhammedanische Studien (Halle, 1889), On Muslim Tradition," Muslim World, II/2 (1912): 113-21; Alter und Ursprung des Isnad ," Der Islam, 8 (1917-18) juga Joseph Schacht dalam , A Revaluation of Islamic Traditions.” (Journal of the Royal Asiatic Society (1949)).[30] Umumnya para orientalis-missionaris menghendaki agar umat Islam membuang tuntunan Rasulullah saw. sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.
f.       Analisis kritis terhadap orientalisme
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat[31]. Pertama, Al-Quran pada dasarnya bukanlah 'tulisan' (rasm atau writing) tetapi merupakan 'bacaan' (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan 'membaca' Al-Quran adalah "membaca dari ingatan (qara'a 'an zhahri qalbin, atau to recite from memory)." Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Quran dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’. Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Quran sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.
Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel. Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orientalis seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Quran sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.
Akibatnya, mereka menganggap Al-Quran sebagai karya sejarah (historical product), sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke-7 dan 8 Masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karenanya perlu membuat edisi kritis (critical edition), merestorasi teks Al-Quran dan menerbitkan naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Quran juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah saw., hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela ayat-ayat yang mereka tulis. Baru di kemudian hari, ketika jumlah penghafal Al-Quran menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam') Al-Quran mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakar as-Siddiq sehingga Al-Quran dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawattir dari Nabi saw. Setelah wafatnya Abu Bakar as-Siddiq r.a. (13 H/ 634 M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a. sampai beliau wafat (23 H/ 644 M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa beliaulah, atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah komisi ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata ulang semua qira’at yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan mencegah perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawattir yang disepakati kesahihan periwayatannya dari Nabi saw. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.
Para orientalis yang ingin mengubah-ubah Al-Quran biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah ini seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi.
Ketiga, salah-faham tentang rasm dan qira'at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Quran ditulis 'gundul', tanpa tanda-baca sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Quran langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
Orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings --sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel-- serta keliru menyamakan qira'aat dengan 'readings', padahal qira'aat adalah 'recitation from memory' dan bukan 'reading the text'. Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam ("ar-rasmu taab'iun li ar riwaayah") dan bukan sebaliknya. Orientalis seperti Jeffery dan kawan-kawan yang bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Quran tidak sama dengan Bibel; Al-Quran bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya; manuskrip lahir dari Al-Quran.
Ketertarikan orientalisme terhadap Al qur’an khususnya, dan Islam pada umumnya mengundang pertanyaan bahkan kecurigaan. Secara psikologis munculnya hal tersebut atau bahkan sikap skeptic terhadap temuan para sarjana orientalis adalah hal yang wajar, karena setiap orang yang beragama, termasuk umat Islam memiliki sentiment keagamaan guna mempertahankan eksistensi dan keagungan agama yang dianutnya dan memeliharanya dari gangguan orang lain. Hanya saja kecurigaan umat Islam itu dipandang berlebihan dan sudah barang tentu negative apabila kaum muslimin bersikap apriori terhadap setiap karya atau pandangan orientalis tentanf Al Qur’an, tanpa memahami dan menganalisisnya secara lebih teliti dan kritis. [32]
Sikap kritis pada setiap karya orientalis sangat diperlukan dalam dunia akademis. Dengan kata lain, kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka itu bukan didasarkan atas satu alas an, bahwa mereka tidak beragama Islam, akan tetapi didorong semangat untuk mencari kebenaran ilmiah. Dengan demikian, kritik yang dihasilkan tidak bersifat emosional, tapi bersifat akademis. Diantara factor yang mendorong kita untuk bersifat kritis adalah kemungkinan adanya sikap yang tidak komprehensif dalam memaparkan data-data yang berkaitan dengan topic pembahasan tertentu, kemungkinan terjadinya ketidaktepatan (improprtionality) interpretasi mereka terhadap data-data obyektif yang memungkinkan adanya inkonsistensi metodologis, dimana ketiga hal tersebut (Obyektifitas interpretasi, proporsional, dan konsistensi metodologis) merupakan suatu keharusan dalam sebuah kajian ilmiah.[33]


C.    KESIMPULAN
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Orientalisme adalah gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang negara-negara timur Islam. Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastera, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam.
Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Quran tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Quran (theories of borrowing and influence).
Secara historis studi Al Qur’an dikalangan kelompok ini dimulai kunjungan Peter, biarawan Cluny, ke Toledo pada catur wulan kedua abad ke-12. Perhatiannya terhadap Islam yang sangat besar membawanya berkeinginan untuk membentuk tim yang bertugas menghasilkan karya yang secara bersama-sama akan dijadikan landasan kajian akademik keislaman.
Karya terbesar yang telah dipersembahkan oleh orientalist adalah Ensyclopedia Of Islam yang ditulis dalam tiga bahasa yaitu bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman, dimana mereka saling bekerjasama dan membantu dalam menerbitkannya, masing-masing menurut keahliannya sendiri.
Diantara tokoh-tokoh orientalis adalah orientalis dari Perancis De Sacy (wafat 1838 M), Cantremere (wafat 1857), De Parceval, Carra De Foux, Massignon; dari Inggris Edward lane, William wright , Sir Thomas Arnold, Margoliouth, Nicholson, Gibb; dari Jerman Flugel  (wafat 1780 M), Freitag (wafat 1861 M), Wustenfield; dari Belanda Dozy (wafat 1883), De Goeje (wafat 1909); dari Rusia Kratchovskki (1883-1951). dari Hongaria Goldziher (wafat 1929). Santillana, Nallino, Guidi dari Italia, Baron Kemer dan Dr. Muller dari Austria, Van Dijk, D.B. Mc.Donald dan Charles Adams dari Amerika, Karimaki dari Polandia, dan Paul Kraus dari Cekoslavia.
Adapun metodologi yang digunakan orientalis dalam menafsirkan Al Qur’an adalan  metode Literary Critisism (kritik sastra) yang digabungkan dengan Historical Critisism (kritik sejarah), pembahasan sejarah dan kronologi-kronologi Al Qur’an, pendekatan Experiental historicism, dan metode Croos refrentiallity of the Qur’an,
Salah satu kerja keras yang dilakukan oleh kaum Orientalis adalah penelitian seputar sejarah dan metodologi penulisan dan pengumpulan al-Qur’an. Isu perubahan al-Qur’an. Dari usaha mereka tersebut dimulai dari banyaknya mushaf al-Qur’an masing-masing sahabat. Bukan hanya memperluas beberapa perbedaan yang ada dalam mushaf-mushaf sahabat tersebut, isu yang lebih serius kemudian dikembangkan yaitu perubahan al-Qur’an.
Sikap kritis pada setiap karya orientalis sangat diperlukan dalam dunia akademis. Dengan kata lain, kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka itu bukan didasarkan atas satu alas an, bahwa mereka tidak beragama Islam, akan tetapi didorong semangat untuk mencari kebenaran ilmiah. Dengan demikian, kritik yang dihasilkan tidak bersifat emosional, tapi bersifat akademis.
 
 
 
DAFTAR RUJUKAN
Sumber dari buku
A. Hanafi, MA, Orientalisme ditinjau menurut kacamata agama (Qur’an dan Hadits), Jakarta, Pustaka Al Husna, 1981
A. Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1995
Ahmad Salaby, Mawsu’at al tarikh al islamy wa al Hadlarat al Islamiyah, juz V, Mesir, Al Maktabah, al Nahdlah,tt
Edward W. Said, Orientalism, London, Rouledge and Kegal Paul, 1980
MF Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al Qur’an, Malang, UIN Malang Press, 2008
Nur Cholis Madjid, Islam, kemandegan dan keIndonesiaan, Bandung, Mizan, 1994
Syahiron Syamsuddin DKK, Hermeneutika Al Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta, Islamika, 2003
William Montgomery Watts, Bells Intoduction to the Qur’an, diterjemahkan Lilian Teja Sudana dengan judul Richard Bells Pengantar Qur’an,Jakarta, IInis, 1998

Sumber dari Internet
http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/holy_quran_library/studies/orientalis_dan_isu_non_otentik_quran/001.html
http://www.al-khilafah.co.cc/2008/08/orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana.html. Post under Al Qur'an, Orientalis pada 8/22/2008 12:41:00 PM Posted by ﻨﻮﺭ ﺳﯿﺴـﻮﺍ ﻨﻄﺎ [syam/malki/cha/www.hidayatullah.com]



[1] http://galaksi.multiply.com/journal/item/2/Orientalis_dan_Al_Quran
Posted by Luqman on Aug 17, '06 5:52 PM
[2]http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/holy_quran_library/studies/orientalis_dan_isu_non_otentk_quran/001.html
[4] http://www.al-khilafah.co.cc/2008/08/orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana.html. Post under Al Qur'an, Orientalis pada 8/22/2008 12:41:00 PM Posted by ﻨﻮﺭ ﺳﯿﺴـﻮﺍ ﻨﻄﺎ
[6] A. Hanafi, MA, Orientalisme ditinjau menurut kacamata agama (Qur’an dan Hadits), Jakarta, Pustaka Al Husna, 1981, hlm. 10-11
[7] A. Hanafi, MA, Orientalisme ditinjau menurut kacamata agama (Qur’an dan Hadits), Jakarta, Pustaka Al Husna, 1981, hlm. 9
[8] Ibid, hlm. 10
[9] Ahmad Salaby, Mawsu’at al tarikh al islamy wa al Hadlarat al Islamiyah, juz V, Mesir, Al Maktabah, al Nahdlah, hlm. 427
[10] MF Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al Qur’an, Malang, UIN Malang Press, 2008, hlm 81
[11] Nur Cholis Madjid, Islam, kemandegan dan keIndonesiaan, Bandung, Mizan, 1994, hlm. 192
[12] Imperialisme adalah suatu usaha Negara untuk menguasai atau mengendalikan Negara lain atau sebagian wilayah Negara lain demi keuntungan ekonomi, politik, maupun sosial budaya
[13] Kolonialisme  disini dipahami sebagai penguasaan oleh sebuah Negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud memperluas Negara itu.
[14] MF Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al Qur’an, Malang, UIN Malang Press, 2008, hlm 83
[15] Edward W. Said, Orientalism, London, Rouledge and Kegal Paul, 1980, hlm. 204
[16] A. Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1995, hlm.34-35
[17] MF Zenrif, hlm 84
[18] William Montgomery Watts, Bells Intoduction to the Qur’an, diterjemahkan Lilian Teja Sudana dengan judul Richard Bells Pengantar Qur’an,Jakarta, IInis, 1998, hlm.153-160
[19] A. Hanafi, MA, Orientalisme ditinjau menurut kacamata agama (Qur’an dan Hadits), Jakarta, Pustaka Al Husna, 1981, hlm.18
[20] Ibid, hlm.12
[21] Ibid, hlm. 14-15
[22] Syahiron Syamsuddin DKK, Hermeneutika Al Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta, Islamika, 2003, hlm. 76
[23] Ibid, hlm. 77
[24] Ibid, hlm. 78
[25]http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/holy_quran_library/studies/orientalis_dan_isu_non_otentik_quran/001.html
[26] http://galaksi.multiply.com/journal/item/2/Orientalis_dan_Al_Quran. Posted by Luqman on Aug 17, '06 5:52 PM [26]
[27] http://galaksi.multiply.com/journal/item/2/Orientalis_dan_Al_Quran. Posted by Luqman on Aug 17, '06 5:52 PM [27]

[28] http://www.al-khilafah.co.cc/2008/08/orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana.html. Post under Al Qur'an, Orientalis pada 8/22/2008 12:41:00 PM Posted by ﻨﻮﺭ ﺳﯿﺴـﻮﺍ ﻨﻄﺎ [syam/malki/cha/www.hidayatullah.com]

[29] http://www.al-khilafah.co.cc/2008/08/orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana.html. Post under Al Qur'an, Orientalis pada 8/22/2008 12:41:00 PM Posted by ﻨﻮﺭ ﺳﯿﺴـﻮﺍ ﻨﻄﺎ [syam/malki/cha/www.hidayatullah.com]
[30] http://www.al-khilafah.co.cc/2008/08/orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana.html. Post under Al Qur'an, Orientalis pada 8/22/2008 12:41:00 PM Posted by ﻨﻮﺭ ﺳﯿﺴـﻮﺍ ﻨﻄﺎ [syam/malki/cha/www.hidayatullah.com]
[31] http://www.al-khilafah.co.cc/2008/08/orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana.html. Post under Al Qur'an, Orientalis pada 8/22/2008 12:41:00 PM Posted by ﻨﻮﺭ ﺳﯿﺴـﻮﺍ ﻨﻄﺎ [syam/malki/cha/www.hidayatullah.com]
[32] Syahiron Syamsuddin DKK, Hermeneutika Al Qur’an mazhab Yogya, Yogyakarta, Islamika, 2003, hlm 79
[33] Ibid., hlm. 80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Designed by Abdul Hobir
Bloggerized by B-CLASS PAI PPS UIN MALIKI | Sponsored by dul_hobir@yahoo.com | Blog Templates created by abdul_hobir 10770031