![]() |
Mansur Fauzi 10770024 |
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Atas nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Segala puji bagi-Nya, pencipta segenap alam raya. Salam sejahtera semoga selalu terlimpahkan kepada insan mulia, nabi Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat, serta semua pengikutnya sampai akhir masa.
Suatu ketika Ibnu Mardawaih bersama Atha’ bertanya kepada Aisyah, “ya Aisyah.. Peristiwa apakah yang kiranya paling mengesankan dalam hidupmu bersama Rasulillah?”
Yang ditanya tak bisa menjawab, yang ia bisa hanya menangis sedu. “Semua yang Nabi perbuat teramat mengesankan bagiku. Kalau aku harus menyebutkan yang paling berkesan adalah pada sutau malam, yakni malam disaat malam giliranku, ia tertidur berdampingan denganku. Kulitnya menyentuh kulitku. Lalu Ia berkata, “ ya Aisyah.. izinkan aku untuk beribadah kepada tuhanku”. Aku berkata, “Demi Allah, aku senang berada di sampingmu wahai Nabi, tetapi aku senang pula engkau beribadah kepada tuhanmu”. Maka Ia pergi berwudlu’, lalu berdiri melaksanakan shalat dan menangis hingga jenggotnya basah. Lalu sujud dan menangis hingga lantai pun basah.
Selepas adzan, Bilal datang. Aku menyambutnya dan mengizinkan Bilal menemui Nabi. Bilal bertanya kepada Nabi, apa yang menyebabkan Ia menangis padahal Allah telah mengampuni dosanya baik yang terdahulu ataupun yang akan datang. Rasul menjawab, “duh Bilal,, apa yang bisa membendung tangisanku sementara tadi malam Allah telah menurunkan ayat kepadaku:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَاب
...” sesunggunhya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali_Imron: 190)[1]
Rasulillah segera berdiri. Sambil berjalan menuju masjid, lalu Ia bersabda, “celaka orang yang membaca ayat ini hanya semata membaca, dengan tidak memperhatikan kandungan di dalamnya.”
Penciptaan..!! sekali lagi ini adalah ayat penciptaan. Beberapa pertanyaan mesti kita perhatikan dan kita jawab. Kenapa Rasulillah pada malam itu sampai menangis? Dan kenapa, samapai berkata dengan nada sedikit khawatir dan marah??
Tangisan Nabi pada malam itu adalah tangisan penuh perasaan takjub. Tangisan suatu isyarat yang teramat tegas supaya kita mau berpikir mendalam, dan senantiasa bertafakkur mencari sesuatu yang berada dibalik “yang kita pandang” dan “yang kita baca” (baik ayat kauniyah maupun qauliyah). Di depan matanya yang suci, Ia menyaksikan begitu megah, keindahan, dan hebatnya alam raya ini. Kekahawatiran pada umatnya yang tak lagi mau bertafakkur untuk menangkap apa yang ada dibalik ayah tersebut.
Oleh karenanya, penulis beranggapan, bahwa mempelajarinya adalah hal yang penting, mengingat betapa banyak ayat-ayat yang terkandung di dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan alam ini dan sanggup menjawab dan beriringan dengan dunia sains yang banyak ditemukan pada akhir-akhir ini. Dengan tujuan mempertebal keimanan kita dan meyakini kebenaran kalam-NYA.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Tafsir Ilmi?
2. Siapa para tokohnya?
3. Apa respon para tokoh mengenai Tafsir Ilmi?
B. PENGERTIAN TAFSIR ILMI
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat muslim seluruh dunia memiliki kedudukan yang sangat sentral dalam setiap sendi kehidupannya. Tak hanya menjadi prinsip dalam menjalani kehidupan ini tapi telah menjadi pedoman dalam setiap aktivitasnya, baik yang lahir dari dalam dirinya, lingkungan, maupun yang lahir dari alam sekitarnya. Karena persoalan yang timbul pada masa kontemporer ini mestilah sejalan dan seiring dengan spirit wahyu.
Seiring dengan diturunkannya al-Qur’an pada 14 abad yang lalu, lahirlah berbagai aliran, yaitu aliran kalam, filsafat, madzhab, tasawwuf, politik, dan sekte kegamaan dalam Islam, itu semua berawal dari penafsiran terhadap al-Qur’an. Meskipun menghasilkan corak dan kecendrungan yang berbeda, semua aliran dan sekte tersebut sama-sama mendasarkan argumentasi dan mencari legitimasi pendapat mereka dari al-Qur’an, bahkan terkadang dari ayat yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan terberat dan menantang bagi umat Islam berkaitan dengan interaksinya dengan kitab suci al-Qur’an adalah upaya meng-kontekstualisasi ajarannya agar tetap relevan di setiap zaman dan tempat. Dengan begitu, tugas terberat seorang mufasir dari dahulu sampai sekarang adalah mencari titik temu dan relevansi antara teks al-Qur’an dengan konteksnya.
Lahirnya kajian tafsir ilmi ini, bukanlah lahir dari ruang yang hampa. Namun setelah kita melihat realitas atau fenomena-fenomena yang terjadi, tentunya kita akan mengaitkannya dengan apa yang telah diturunkan pada 14 abad yang lalu (al-Qur’an). Munculnya tafsir ilmi dalam khazanah inteleklual Islam merupakan respons supaya ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an tetap relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu, tafsir ilmi juga berupaya memperbaiki pengetahuan seseorang yang telah ada dan membuka tabir makna ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang belum mampu dipahami oleh umat sebelumnya secara baik.
Dalam kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan beberapa definisi Tafsir Ilmi dari beberapa tokoh, di antaranya adalah:
1. Tafsir ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam ajaran-ajaran tertentu al-Qur’an atau berusaha mendeduksi berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat al-Qur’an.[2]
2. Dr. Muhammad Husain adz-Zahaby, tafsir ilmi ialah tafsir yang membincangkan tentang perkara-perkara saintifik di dalam ayat-ayat al-Quran dan berusaha mengeluarkan berbagai ilmu dan pandangan secara falsafah daripadanya.[3]
3. Prof. Amin al-Khuli mendefenisikan tafsir ilmi adalah tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi al-Qur’an dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi al-Qur’an.
4. Sedangkan Dr. ’Abdul Majid ’Abdul Muhtasib berpendapat tafsir ilmi merupakan tafsir yang memberikan redaksi al-Qur’an ke bawah teori dan istilah-istilah sains keilmuan dengan mengarahkan segala daya untuk menyimpulkan berbagai masalah keilmuan dan pandangan filosof dari redaksi al-Qur’an.[4]
5. Tafsir ilmiah adalah tafsir yang penulisnya hendak mengembalikan statemen-statemen al-Qur’an pada teori-teori dan terminologi-terminologi ilmiah. Penulisnya berusaha dengan sekuat tenaga untuk menggali berbagai masalah sains dan pandangan-pandangan filsafat dari statemen-statemen al-Qur’an tersebut.[5]
Para ulama memberi pengertian yang hampir sama terhadap tafsir ilmi di atas, di mana semua pendapat itu dapat disimpulkan menjadi satu pengertian yang syumul yaitu tafsir yang membahas tentang ayat-ayat Kauniyyat (penciptaan) di dalam al-Qur’an dan menafsirkannya yang dipadukan dengan teori-teori dan penemuan-penemuan sains, di mana ia tidak diketahui pada zaman al-Qur’an diturunkan.
Dari pengertian di atas, pada zaman modern ini, banyak kita temukan orang-orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an dengan sorortan pengetahuan ilmiah modern. Dengan tujuan untuk menunjukkan mukjizat al-Qur’an dalam bidang keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan dan keunikan al-Qur’an dan untuk menjadikan kaum muslimin bangga memiliki kitab agung ini. Sebenarnya usaha untuk membuktikan tentang hubungan antara al-Qur’an dan sains tidak saja dilakukan oleh orang-orang Islam namun semacam ini pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan non muslim atau para orientalis. Seperti Maurice Bucaille misalnya, seorang dokter bedah berkebangsaan Perancis, telah melakukan usaha yanng sama. Ia tiba-tiba terkenal sebagai seorang ahli tafsir dengan bukunya “La Bible, La Coran Et La Sciense”. Menurutnya, al-Qur’an bukan saja dipandang dapat berbicara tentang surga dan neraka tetapi juga tentang penemuan-penemuan ilmiah mutakhir. Al-Qur’an seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern.[6]
Pandangan yang menganggap al-Qur’an sebagai sebuah sumber seluruh pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab kita mendapati banyak ulama besar kaum muslim terdahulu pun berpandangan demikian. Di antaranya adalah imam al-Ghazali. Dalam buku Ihya’ Ulumuddin, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud: “jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan al-Qur’an”. Selanjutnya beliau menambahkan “ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Qur’an adalah penjelasan esensi, dan sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu ini dan di dalam al-Qur’an terdapat indikasi pertemuannya (al-Qur’an dan ilmu-ilmu).[7]
Masalah penafsiran ilmiah atas ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kemusykilan yang harus diselesaikan ketika kita membicarakan hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Tidak sedikit ulama yang pro terhadap keberadaan tafsir ilmi, begitu pula tidak sedikit ulama yang mengecamnya. Sebagian mereka berpendapat orang-orang yang terlalu bersemangat menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan adalah termasuk yang di ancam dalam hadis Rasulillah saw:[8]
قال النبي صلى الله عليه وسلم : من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
Nabi saw bersabda: “barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yunya, hendaknya menyiapkan tempat duduknya di neraka”.
Sering terjadi seorang mufassir ilmi, ketika mengetahui penemuan baru, lalu mereka cepat-cepat mencari ayat yang menunjang teori ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga yang terjadi bukanlah ilmu pengetahuan menafsirkan al-Qur’an tetapi justru sebaliknya, al-Qur’an yang menafsirkan ilmu pengetahuan.[9]
Sebenarnya menurut Dr. M. Quraish Shihab, membahas hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan teori-teori ilmiah, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.[10] Dengan cara melihat al-Qur’an atau jiwa-jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui hubungan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkan tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh –baik positif maupun negatif- terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana yang diketahui, latar belakang seorang mufasir, baik pendidikan, karir profesional, afiliasi politik dan kemasyarakatan, dan juga yang lainnya, akan berpengaruh terhadap produk tafsirnya. Seorang ahli bahasa, tentu akan banyak mewarnai tafsirnya dengan teori-teori kebahasaan. Orang yang menekuni dunia filsafat, produk tafsirnya akan kental dengan nuansa filosofis. Sedangkan yang concern dengan sastra, akan banyak mempengaruhi tafsirnya dengan pendekatan-pendekatan sastra. Begitu juga dengan mereka yang memiliki basis keilmuan yang lainnya. Dengan begitu, kelahiran tafsir ilmi dalam diskursus tafsir al-Qur’an adalah suatu hal yang wajar, kalau bukannya sebuah keniscayaan sejarah.
Bila seorang pengkaji menganalisa mula-mula tendensi tafsir ilmiah dan perjalanannya melintasi beberapa kurun, dimana kitabulloh tersebut ditafsirkan kaum muslimin, pasti dia akan menemukan bahwa tendensi ini bertitik tolak dari zaman Abbasiyah hingga era kita sekarang. Adalah hal yang wajar, bila pada mulanya tendensi ilmiah ini dalam bentuk usaha mengkompromikan antara Islam dengan tsaqafah-tsaqafah asing yang diterjemahkan, serta sains murni yang ditemukan dilingkungan kaum muslimin. Sehingga tendensi ini menjadi kuat dan terekspose pada abad ke-5 Hijriyah dan seterusnya. Hanya saja tendensi ini telah menjadi besar dan menggurita di akhir abad ke-19 hingga sekarang karena terjadinya ketertinggalan kaum muslimin dalam bidang sains dan teknologi, sebaliknya Barat mengalami kemajuan dan mampu mengunggulinya.[11]
Emang kita harus mengakui banyak temuan sains mutakhir yang selaras dengan al-Qur’an itu sendiri. Namun bukan berarti semuanya telah terpecahkan, ada salah satu ayat yang sampai sekarang masih misterius dan belum terungkap. Yaitu:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
Artinya.. “Tuhanlah yang menciptakan tujuh langit dan begitu pula (tujuh) bumi. Perintah tuhan berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Tuhan Mahakuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya ilmu Tuhan benar-benar meliputi segala sesuatu”. (Q.S. ath-Thalaq: 12)
Fauz Noor menguraikan kemisteriusan ini. Yaitu:[12]
Kata al-Qur’an, bumi (ardh) bukan hanya “pentul jarum” tempat kita sekarang ini. Akan tetapi, banyak dan berbilang (tujuh bumi). Ayat al-Qur’an ini masih “misterius” bagi fisikawan, meskipun dengan canggih mereka sudah berani: “mungkin saja ada kehidupan lain nun jauh di sana, entah dimana.”
Ia melanjutkan, saya termasuk orang yang memiliki keyakinan bahwa semestinya tidak terjadi kontradiksi antara ayat-ayat kauniyah dengan ayat-ayat qauliyah. Sebab, keduanya bersumber dari satu sumber; Tuhan yang Maha Esa. Sejarah telah membuktikan banyak temuan sains -yang valid- yang sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Kita perlu mengutip penjelasan ath-Thabari tentang “alam semesta” (‘alamin) yang telah disebutkan di atas:
Kata ‘alam (dunia) ini selalu disebutkan dalam bentuk plural (‘alamin), sekalipun bentuk tunggalnya sudah bermakna plural, mengingat setiap generasi mempunyai dunianya sendiri.
Dari penjelasan ath-Thabari kita bisa paham bahwa setiap generasi mempunyai medan kajian yang berbeda. Kalau kajian sains generasi terdahulu akhirnya tertolak dengan kajian berikutnya, itu tak menjadi soal.
Sebagai contoh, banyak kitab tafsir karangan ulama terdahulu yang secara lantang berkata bahwa langit terdiri dari tujuh lapisan, sebagaimana banyak ayat al-Qur’an berujar demikian. Penafsiran mereka ini adalah benar “untuk zaman mereka”. Akan tetapi, kalau mufassir kontemporer menafsirkan dengan tafsiran yang demikian, sungguh mereka telah berbuat keliru. Karena, fakta sains berujar bahwa langit (samawat, secara harfiah bermakana “ketinggian”, artinya alam semesta yang posisinya ada di ketinggian dari alam tempat manusia berpijak) itu berada dalam keluasan yang terus meluas sebagaimana temuan Edwin Hubble. Kalau kita ngotot dengan penanfsiran bahwa langit itu memeang tujuh lapis, sama saja dengan membodohi diri sendiri. Kita harus ingat bahwa “alam semesta” (‘alamin) menurut al-Qur’an adalah alam semesta yang menjadi kajian bagi tiap-tiap generasi. Oleh karena itu, kata “tujuh” dalam “tujuh langit” mestinya kita tafsirkan “banyak tak terkira”, atau singkatnya “luas dan meluas”.
Masih banyak lagi ayat-ayat yang masih misterius di dalam al-Qur’an, sebagai generasi muslim yang hidup pada abad ini, tentunya ini menjadi tanggung jawab kita bersama terutama pada kalangan ilmuwan muslim yang memang ahli di dalam bidangnya, untuk mengungkap semua kemisteriusan selama ini, agar selaras dan seiring dengan kemajuan peradaban saat ini.
C. Tokoh-tokoh
Para tokoh tafsir ilmi sangatlah banyak, terutama ketika memasuki abad ini. Penulis akan mengutip dan meringkas dari buku “Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer”, karangan Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. Yaitu:[13]
1. Imam al-Ghazali
Al-Ghazali adalah orang yang paling banyak memasarkan tafsir ilmiah di tengah percaturan keilmuan Islam, sekaligus peletak asas teoritik yang pertama dalam kajian ini. Meski apa yang ia tegaskan merupakan kaidah-kaidah untuk memahamai statemen-statemen dan penjelasan al-Qur’an. imam Abu Hamid al-Ghazali, yang meninggal dunia pada tahun 505 H adalah termasuk tokoh sufi, yang berpandangan bahwa tiap kata di dalam al-Qur’an mempunyai makna dlahir dan batin, tersurat dan tersirat, sebagaimana yang terdapat dalam hadis.
Jika seseorang pernah meneliti kitab Ihya’ Ulumuddin yang merupakan karyanya, tentu dia akan melihat pada bab keempat, yaitu bab tentang adab membaca al-Qur’an, dalam rangka memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu (akal). Ia mengutip pendapat Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “siapa saja yang ingin ilmu ulama-ulama klasik dan modern, hendaknya menghayati al-Qur’an dan itu tidak akan diraih hanya dengan menfsirkan dlahirnya” pendek kata, seluruh ilmu masuk dalam perbuatan dan sifat Allah, sementara di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan mengenai dzat, perbuatan-perbuatan dan sifat-sifatnya.
Dalam bukunya Jawahir al-Qur’an, al-Ghazali menjelaskan dan mendiskripsikan secara detail apa yang ditegaskannya dalam kitab Ihya’-nya. Beliau mengangkat topik keempat dari buku tersebut mengenai metode menghimpun ilmu-ilmu keagamaan secara keseluruhan, serta yang berhubungan dengan ilmu-ilmu tersebut dari al-Qur’an, yakni mengenai klasifikasi dan rincian detail yang dibahasnya.
2. Al-Fakhru ar-Razi
Al-Fakhru ar-Razi pemilik kitab tafsir “Mafatih al-Ghaib” yang kemudian lebih populer dengan sebutan nama “Tafsir al-Kabir” yang meninggal pada tahun 606 M. Ia telah menerapkan ilmu pengetahuan yang bercorak saintis dan pemikiran. Sehingga ada ulama yang berkomentar: “Al-Fakhru ar-Razi telah memaparkan segala hal dalam kitab tafsirnya, kecuali tafsir itu sendiri”.
Pembahasannya yang mendalam tentang bahasa dan sastra Al-Qur’an. Ar-Razi selalu menyampaikan bahwa satu kata dalam Al-Qur’an tidak saja mengandung satu model pembacaan. Tapi terkadang ada juga yang dua, tiga, empat, bahkan ada yang sampai tujuh bacaan. Belum lagi masalah-masalah gramatikal dan derivasi kata yang dengan apik dan gamblang dapat ia eksplorasikan dengan mengetengahkan beberapa diskursus yang tengah berkembang di zamannya.
Dalam konteks ini, Ar-Razi banyak berhutang budi kepada tokoh-tokoh muktazilah seperti Quthrub (w.206 H.), Al-Akhfasy (w.215 H.), Al-Juba’i (303 H.), Abu Hasyim (w. 321 H.), Al-Qaffal II (w. 365 H.), Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H.), Abu Muslim Al-Asbihani (459 H.) dan Az-Zamaksyari (w. 538). Nama yang terakhir disebut ini merupakan tokoh “idola” yang sering dirujuk oleh Ar-Razi dalam tafsirnya. Bahkan dalam banyak kesempatan Ar-Razi menukil perkataan Zamakhsyari tanpa merubah sedikitpun.
Ketika Ar-Razi melewati ayat-ayat yang berbicara tentang alam. Secara sepontan ia mengetengahkan temuan-temuannya tentang teori ilmiah. Hampir semua ayat yang berbicara tentang ayat kauniyah berhasil ia eksplorasi dengan gamblang dan jelas. “Ulah” Ar-Razi inilah yang kemudian mengilhami beberapa pengkaji Al-Qur’an kontemporer tentang konsep tafsir ilmi atau i’jaz ilmi.
Sebagai seorang pemikir berdarah Asy’arian, Ar-Razi dalam tafsirnya juga banyak berbicara tentang pergulatan pemikiran yang berkembang pada masa itu. Kebiasaan Ar-Razi adalah mengetengahkan opini yang berseberangan dengan madzhab yang diimaninya. Kemudian “membantai” opini tersebut dengan logika filsafat ketuhanan dan ilmu kalam Asy’arian. Di antara kelompok yang menjadi bulan-bulanan Ar-Razi adalah Muktazilah, Karramiyah, Syi’ah, Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan masih banyak lagi.
Kemampuannya dalam menyusun logika pikir dalam bentuk premis mayor dan minor menjadikan argumentasinya mudah dicerna dan diterima. Sehingga dalam banyak kesempatan Ar-Razi selalu menang atas lawan-lawannya. Bahkan, karena kemenangannya itulah Ar-Razi mendapat kecaman dan ancaman luar biasa dari kelompok Karramiyah. Alkisah, kelompok inilah yang menjadi penyebab wafatnya. Ia meninggal sebab sebuah gelas berisi racun mematikan.
3. Al-Baedhawi
Beliau adalah seorang qadli al-qudlat (ketua pengadilan) yang meninggal pada tahun 691 H. Pemilik tafsir yang terkenal dengan nama “Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil”. Beliau dalam penafsirannya bertumpu pada “at-Tafsir al-Kabir” yang nama aslinya adalah “Mafatih al-Ghaib” karangan al-Fakhru ar-Razi. Tafsir beliau juga merupakan ringkasan tafsir “al-Kasysyaf” karya az-Zmakhsyari. Namun beliau, meninggalkan banyak kejanggalan-kejanggalan yang ada di dalamnya. Untik itu, beliau telah banyak memasukkan banyak atsar yang dikemukakan oleh para sahabat dan tabiin.
4. Nidham ad-Din al-Qummi
Pemilik tafsir yang terkenal dengan “Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan” yang meninggal pada tahun 728 H. Dalam tafsirnya beliau menerjuni rahasia-rahasia alam, pendapat para ahli ilmu alam, dan filosuf. Ada dua daya tarik dalam karya beliau. Pertama, at-Tafsir al-Kabir karya al-Fakhru ar-Razi, di mana tafsirnya merupakan ringkasan dari tafsir tersebut. Kedua, kemampuannya dalam melakukan hermeneutika atas ayat-ayat tersebut dengan mengutip pendapat para ahli hakikat, para filsof sufi, yang kesemuanya berpandangan bahwa tiap kata dalam al-Qur’an, secara mutlak mempunyai satu makna.
5. Az-zarkasyi
Tafsir beliau adalah “al-Burhan fi Ulum al-Qur’an” yang meninggal pada tahun 794 H.
6. Al-Jalal as-Suyuthi
Beliau adalah salah yang menganjurkan orang-orang untuk menafsirkan al-Qur’an secara ilmiah sebagaimana pendahulunya. Anjuran ini kita akan temukan secara transparan dan panjang lebar dalam kitab “al-Itqan fi Ulmu al-Qur’an”, juga dalam kitab “al-Iklil fi al-Istinbathi fi at-Tanzil” serta kitab “Mu’tarak al-Aqrani fi I’jaz a;-Qur’an”, kita juga akan menemukan as-Suyuthi mengemukakan banyak ayat, hadis, atsar serta pendapat para ahli tafsir dan ulama untuk dijadikan sebagai argumentasi bahwa al-Qur’an memuat seluruh ilmu pengetahuan.
7. Abu al-Fadhal al-Mursi
Sang empu kitab “al-Itqan” telah mengutip beberapa pendapat Ibnu Abi al-Fadhal al-Mursi dalam kitab tafsirnya.
8. Tafsir ilmiah di era modern
a. Dr. Muhammad bin Ahmad al-Iskandari. Beliau telah menyusun kitab “Kasyfu al-Asrar an-Nuraniyah, fima Yata’allaqu bi al-Ajram as-Samawiyah wa al-Ardliyyah wa al-Hayawanat, wa an-Nabatat wa al-Jawahir al-Ma’daniyah” berisi tendensi ilmiah seputar ayat-ayat al-Qur’an. seorang ulama abad ke-13 H. kitab ini sebanyak tiga juz yang di jilid menjadi satu. Telah di cetak pada penerbit al-Wahbiyah di Mesir pada tahun 1330 H.
b. Risalah Abdullah Fikri tentang studi komparasi atas beberapa pembahasan astronomi dengan yang tertuang dalam nash-nash syara’. Risalah ini telah diterbitkan pada tahun 1315 H di Kairo.
c. Ibrahim Fashih yang lebih populer dengan nama Haidari, telah mengarang risalah seputar pembuktian astronomi baru yang mendominasi beberapa ayat yang mulia serta beberapa informasi.
d. Al-Ustadz Muhammad Shidqi, ia telah memberikan perhatian yang besar dan spesifik pada aspek ini dan beriorientasi pada pembuktian (ilmiah) dalam bukunya “Sunan al-Kainat” (hukum-hukum alam).
e. Abdurrahman al-Kawakibi al-Halabi. Ia telah menulis buku “Thabai’u al-Istibdad wa Mashari’u al-Isti’bad”, buku ini merupakan kumpulan artikel yang pernah dipublikasikan dibeberapa media elektronik ketika dia sedang berkunjung ke Mesir pada tahun 1318 H.
9. Muhammad Abduh
10. Muhammad Jalaluddin al-Qasimi
Pemilik tafsir “Mahasin at-Ta’wil”, beliau telah mengangkat satu pembahasan yang menjelaskan tentang delik-delik masalah ilmiah astronomis yang tertuang di dalam al-Qur’an.
11. Mahmud Syukri al-Alusy
Karyanya yaitu “Ma Dalli alaihi al-Qur’an mimma Ya’dihu al-Kai’ata al-Jadidata al-Qawimat al-Burhan”
12. Thanthawi Jauhari
Karyanya yaitu “al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Kaarim”, terdiri dari dua puluh lima juz..
13. Abdul Hamid bin Badis
14. Mustafa Shadiq ar-Rafi’i
Ia telah mengarang tafsir dengan judul “I’jaz al-Qur’an wa Balaghah an-Nabawiyah” menelaah kitab ini akan menemukan secara seksama bahwa dia merupakan pembela tendensi ilmiah penasiran al-Qur’an.
15. Abdurrazaq Naufal
Telah menulis buku “Allah wa al-Ilmu Hadis”. Dalam hal ini ia telah memecahkan masalah relevansi beberapa ayat ilmiah dengan ilmu pengetahuan modern pada bab kemukjizatan ilmiah al-Qur’an.
D. PRO, KONTRA, DAN SIKAP MODERAT
Setidaknya terdapat tiga kelompok utama berkenaan dengan tafsir ilmi. Pertama, kelompok yang mendukung keberadaan tafsir ilmi (pro). Kedua, kelompok yang menolak (kontra). Ketiga, kelompok moderat yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua kelompok yang bertolak belakang secara diametral di atas.
Kelompok pertama, para pendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak. Di dalamnya pula terdapat kaidah-kaidah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang bisa kita saksikan, fenomena-fenomena alam yang bisa kita lihat dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang berhasil diungkap oleh ilmu pengetahuan moderen dan kita menduga itu semua sebagai sesuatu yang baru. Itu semua –sebenarnya- bukanlah sesuatu yang baru menurut al-Qur’an.[14] Dan kelompok ini dipelopori oleh imam al-Ghazali, sebagaimana penulis sebutkan salah satu statemen-statemennya di ats. Berlandaskan kitab al-Qur’an, yaitu:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Artinya.. “tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab” (Q.S. al-An’am: 38)
Dan dalam surat an-Nahl ayat 89:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Artinya.. “dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu”
Dan Ibnu Abbas berkata:
والله لو ضاع مني عقال بعير لوجدته في كتاب الله
Artinya.. “seandainya aku kehilangan tali onta,niscaya aku akan menemukannya di dalam kitab Allah”
Ayat-ayat di atas inilah oleh kelompok pertama dijadikan argumen dalam mendukung kelahiran tafsir ilmi, selain argumen-argumen yang diungkapkan oleh para ulama sendiri. Pendapat al-Ghazali tersebut di atas didukung oleh para mufassir ilmi lainnya, seperti Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib. Di dalamnya di dapati pembahasan ilmiah yang menyangkut segala ilmu pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya, sehingga sebagian ulama –seperti Abu Hayyan al-Andalusi- menilai kitab tafsirnya terlalu berlebihan yang mengandung sesuatu kecuali tafsir.[15]
Ada di antara ulama yang menggali untuk mengetahui usia Rasulillah saw, dari firman Allah:
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya.. “dan Allah sekali-kali tidak akan menagguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah maha Mengenal apa yang kamu kerjakan” (Q.S. al-Munafiqun: 11)
Mereka berkata, ayat di atas terdapat pada surat yang keenam puluh tiga dan ayat itu merupakan ayat yang terakhir dari surat itu. dari sinilah dapat diketahui bahwa usia Rasulillah saw adalah 63 tahun.[16] Apalagi dalam urusan ibadah-ibadah utama dalam agama Islam yang berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti shalat yang membutuhkan ilmu geografi dan astronomi, penentuan puasa yang membutuhkan ilmu astronomi, dan lain sebagainya.
Kelompok kedua (kontra), dipelopori oleh Imam Abu Ishak Ibrahim ibn Musa Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai orang yang menantang penggunaan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi, bahwa semua sahabat Nabi lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.[17] Bahkan, menurut kelompok yang kedua ini, terbaca kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Kelompok kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an karena al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Pandangan di atas juga telah dikritik oleh beberapa ulama terkenal pada masa ini. Argumentasi mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tidaklah benar menafsirkan kata-kata al-Qur’an dengan cara yang tidak diketahui oleh orang-orang Arab pada masa Nabi.
2. Al-Qur’an tidak diwahyukan untuk mengajari kita sains dan teknologi, tapi merupakan kitab petunjuk. Karena itu membicarakan ilmu kealaman adalah diluar tujuannya.
3. Sains belum mencapai tingkat kemajuan yang paripurna. Karena itu tidaklah benar menafsirkan al-Qur’an menurut teori-teori yang dapat berubah.
4. Adalah kehendak Allah bahwa manusia dapat menemukan rahasia-rahasia alam dengan menggunakan indera dan inteleknya. Jika al-Qur’an mencakup seluruh ilmu kealaman, maka akal manusiapun akan menjadi jumud dan kebebasan manusia menjadi tidak bermakna. Sebagaimana Muhammad Abduh mengatakan: “jika Rasul itu harus menerangkan ilmu-ilmu kealaman dan astronomi, maka itu berarti akhir dari aktifitas indera dan akal manusia, dan akan merendahkan kebebasan manusia itu sendiri.”[18]
Menurut kelompok yang ketiga (moderat), tafsir ilmi dapat diterima dan diterapkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan catatan seorang mufasir memenuhi tiga syarat berikut ini. Yaitu:[19]
a) Penafsirannya sejalan dengan kaidah kebahasaan. Disebabkan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka ketika menafsirkan ayat-ayat ilmiah, seorang mufasir harus paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Selain mengerti dengan ilmu I’rab, bayan, ma’ani, dan badi’, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan kamus, seorang mufasir juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan arti dari suatu kata.
b) Memperhatikan korelasi ayat (munasabat al-ayat). Selain menguasai kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga dituntut untuk memperhatikan korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya. Hal ini penting, mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi turun ayat, melainkan berdasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan ayat yang berikutnya.
c) berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan. Sebagaimana diketahui, sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak. Otentisitas dan validitasnya dapat diuji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif sejarah, kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah sekalipun. Oleh sebab itu, pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja tidak dapat diterima. Dan, bila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kebenaran mutlak dengan kebenaran temuan ilmiah yang bersifat relatif, adalah salah satu alasan utama kelompok yang menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.
E. METODOLOGI TAFSIR ILMY
Dalam hal ini, penulis mencoba mengangkat metodologi yang telah digunakan oleh Thanthawi Jauhari. Metodologinya dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan memulai menafsirkan lafad ayat-ayat yang dia kemukakan, lalu dibacanya dengan syarah, penjelasan dan penelitian. Dengan kata lain, dia merancang secara luas disiplin keilmuan modern yang beragam.[20]
F. CONTOH-CONTOH TAFSIR ILMI
Penulis akan memberikan sebagian contoh dari pada tafsir ilmi karena tidak mungkin semuanya disebutkan. Di dalam al-Qur’an terdapat + 750 ayat yang membahas fenomena alam, di ataranya adalah:
1. Ihwal reproduksi manusia[21]
Terdapat paling tidak tiga ayat al-Qur’an yang berbicara tentang sperma (mani) yaitu:
a. Surat al-Qiyamah: 36-39
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى (36)أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى (38) فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (39) أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى (40)
Artinya.. “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (36) Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim) (37) Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya (38) Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan (39)”
b. Surat an-Najm: 45-46
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (45) مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى (46)
Artinya.. “Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita (45) Dari air mani, apabila dipancarkan (46)”
c. Surat al-Waqi’ah: 58-59
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تُمْنُونَ (58) أَأَنْتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ (59)
Artinya.. “Maka Terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan (58) Kamukah yang menciptakannya, atau kamikah yang menciptakannya? (59)”
Ayat al-Qiyamah di atas secara tegas menyatakan bahwa nuthfah merupakan bagian kecil dari maniyang dituangkan ke dalam rahim. Kata nuthfah dalam al-Qur’an adalah “setetes yang dapat membasahi”. Informasial-Qur’an tersebut sejalan dengan penemuan ilmiah pada abad kedua puluh ini yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, sedangkan yang berhasil bertemu dengan ovum hanya satu saja.
Ayat an-Najm di atas menginformasikan bahwa dari setetes nuthfah yang memancar itu Allah menciptakan kedua jenis manusia lelaki dan perempuanpenelitian ilmiah membuktikan adanya dua macam kandungan sperma (mani laki-laki) yaitu kromosom lelaki yang dilambangkan dengan huruf “Y”, dan kromosom perempuan yang dilambangkan dengan huruf “X”. apabila yang membuahi ovum adalah sperma yang memilki kromosom Y, maka anak yang dikandung adalah lelaki. Apabila yang membuahi ovum adalah sperma yang memilki kromosom Y, amaka anak yang dikandung adalah lelaki, dan bila X bertemu dengan X , maka anak yang dikandung adalah perempuan. Jika demikian yang menentukan jenis kelamin adalah nuthfah yang dituangkan sang ayah itu.
2. Penentuan jenis kelamin[22]
Surat al-Baqarah: 223
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Artinya.. “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”.
Jadi, bukan wanita yang menentukan jenis kelamin anak tetapi yang menentukan adalah benih yang di tanam ayah di dalam rahim. Pada tahun 1883, Van Bender membuktikan bahwa sperma dan ovum memiliki peranan yang sama dalam pembentukan benih yang telah bertemu itu, dan pada tahun 1912 Morgan membuktikan peranan kromosom dalam pembentukan janin.
3. Ihwal kejadian alam semesta[23]
Seluruh alam tadinya merupakan satu gumpalan yang padu, melalui Q.S. al-Anbiya’: 30
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya.. “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Menurut fisikawan Rusia, George Gamow (1904-1968), melahirkan sekitar seratus miliar galaksiyang masing-masing rata-rata memiliki 100 miliar bintang. Tetapi sebelumnya, bila ditarik ke belakang semuanya merupakan satu gumpalan yang terdiri dari neutron. Gumpalan itulah yang meledak dan yang dikenal dengan istialah “Big Bang”.
4. Perbedaan sidik jari[24]
Pada tahun 1884 M, di Inggris telah digunakan cara untuk mengenali seseorang melalui sidik jari. Kemudian cara ini diikuti pula oleh setiap negara. Demikian ini disebabkan bahwa kulit jari-jari mempunyai garis-garis lembut yang berbeda-beda bentuknya. Garis itu tidak akan berubah, berbeda dengan garis tubuh lainnya. Sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an, surat al-Qiyamah: 3-4
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ (3) بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ (4)
Artinya.. “Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?. Bukan demikian, Sebenarnya kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.”
G. PANDANGAN PENULIS
Penulis yakin bahwa al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa saja yang diperlukan manusia dalam wilayah iman dan amal. Penulis tidak memandangnya sebagai ensiklopedi sains, dan juga tidak meyakini kebenaran mencocokkan al-Qur’an dengan teori-teori sains yang berubah-rubah itu. Pada sisi lain, penulis tidak dapat menolak bahwa al-Qur’an mengandung rujukan-rujukan pada sebagian fenomena alam. Namun ini bukan untuk mengajarkan sains tapi harus digunakan sebagai bantuan dalam menarik perhatian orang kepada keagungan Allah dan dengan begitu membawanya dekat kepada-Nya.
Sekali lagi, al-Qur’an selalu mengandung banyak misteri kehidupan, untuk sedikit menguraikannya, tentunya dengan cara yang dipandang relevan untuk kemajuan pada saat ini, salah satunya adalah dengan mendorong melakukan kajian tafsir saintifik, teruatama oleh para ilmuwan muslim. Tujuannya, agar kita tidak selalu bernostalgia dengan masa lalu dan selalu merasa di nina bobokkan dengan masa keemasan klasik atau membanggakan kejayaan nenek moyang. Pada akhirnya, tidak lagi pernah terdengar jawaban “oh,, ternyata di dalam al-Qur’an juga ada ya,,”
Terakhir... “ketika selesai sebuah perkara maka akan nampak jelaslah kekurangannya”, karena itu saya sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih terlalu jauh dari memuaskan, mungkin masih banyak sekali hal-hal yang terkait dengan tafsir ilmi yang belum mampu penulis sajikan. Namun, saya tidak akan minta kritik apapun, sekali lagi saya tidak akan minta kritik apapun yang konstruktif sekalipun. Saya ngeri mendengarnya, terima sajalah permintaan maaf saya. Sekian, semoga bermanfaat.
Waallahua’lam…………………………………………………………………
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa poin sebagai kesimpulan di sekitar debat tentang tafsir ilmi. Pertama, kelahiran tafsir ilmi adalah upaya umat Islam untuk senantiasa mencari kemukjizatan al-Qur’an dalam terang temuan berbagai ilmu pengetahuan, di samping untuk mendialogkan al-Qur’an dengan perkembangan zaman. Apa benar ajaran Islam itu relevan di setiap ruang dan waktu.
Kedua, kemunculan tafsir ilmi dalam khazanah kesarjanaan muslim awalnya merupakan sebuah hal yang wajar, sebagai ijtihad para ulama awal untuk memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an. Pada masa-masa berikutnya, kemunculan tafsir ilmi adalah untuk merekonsiliasi berbagai ilmu pengetahuan asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan sekaligus mencari legitimasi temuan-temuan ilmiah dari internal umat Islam sendiri.
Ketiga, setidaknya terdapat tiga pendapat di seputar penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an. Kelompok yang mendukung penerapan tafsir ilmi beralasan, bahwa al-Qur’an mengandung berbagai aspek yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, eksistensi tafsir ilmi sesungguhnya diakui oleh al-Qur’an sendiri. Kelompok ini dimotori oleh Imam Al-Ghazali. Kelompok yang menolak melihat, di samping terkesan apologis, alasan-alasan yang dikemukakan kelompok pertama juga terkesan mencocok-cocokkan ayat al-Qur’an dengan temuan ilmiah. Bahkan, dalam banyak kasus, kelompok yang diprakarsai oleh Al-Syatibi ini melihat penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an terkesan dipaksakan. Sedangkan kelompok ketiga mencoba mencari jalan tengah di antara dua kutub ekstrem tersebut. Kelahiran tafsir ilmi -terlepas dari apapun namanya- merupakan sebuah keniscayaan sejarah.
BAB IV
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer. Bangil Jatim. Al Izzah. 1997.
Abdul Mustaqim. Aliran-aliran Tafsir. Yogyakarta. Kreasi Wacana. 2005
Ali Hasan al-‘Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta Utara. PT Raja Grafindo Persada. 1994
Fakhruddin ar-Razy. Mafatih al-Ghaib. Maktabah Syamilah
Fauz Noor. Berpikir Seperti Nabi Perjalanan Menuju Kepasrahan. Yogyakarta. LkiS. 2009
Lihat Dr. Maurice Bucaille. La Bible, La Coran Et La Sciense. Jakarta. Bulan Bintang. Terj. HM. Rosyidi. 1979.
M. quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. Bandung. Mizan. 1993
Mahdi Ghulsyani. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an. Bandung. Mizan. 1994.
Muhammad Husain adz-Zahaby. At-Tafsir wa al-Mufassirun li adz-Dzahaby. Maktabah Syamilah
Muhammad Nor Ichwan. Memasuki Dunia al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya. 2001
Quraish Shihab. Mukjizat al-Qur’an. Bandung. Mizan. 1996
Rusiadi.blogspot.com/jumat/15januari2010/konsep-konsep tafsir tahlili
Software Qur'an in Word 2003, karya Moch. Taufiq
Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Semarang. Pustaka Amani. 2001
[1] Teks sekaligus terjemahan dari Ayat ini berasal dari software Qur'an in Word 2003 karya Moch. Taufiq. Demikian juga dengan teks dan terjemah Ayat-ayat selanjutnya
[2] Abdul Mustaqim. Aliran-aliran Tafsir. 2005. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Hlm 74
[3] Muhammad Husain adz-Zahaby. At-Tafsir wa al-Mufassirun li adz-Dzahaby. Maktabah Syamilah. Hlm 308
[4] Rusiadi.blogspot.com/jumat/15januari2010/konsep-konsep tafsir tahlili
[5] Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer. 1997. Bangil Jatim. Al Izzah. Hlm 258
[6] Lihat Dr. Maurice Bucaille. La Bible, La Coran Et La Sciense. 1979. Jakarta. Bulan Bintang. Terj. HM. Rosyidi. Hlm 251
[11] Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer. Op.cit. Hlm 257
[13] Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer. Op.cit. Hlm 258-300
[14] Ali Hasan al-‘Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir. 1994. Jakarta Utara. PT Raja Grafindo Persada. Hlm 63
[15] Muhammad Nor Ichwan. Memasuki Dunia al-Qur’an. 2001. Op.cit. hlm 257
[19] http://suakakata.blogspot.com/2009/01/debat-sekitar-tafsir-ilmiah.html
[20] Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer. Op.cit. Hlm 290
[24] Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. 2001. Semarang. Pustaka Amani. Hlm 209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar