ASBAB AN-NUZUL
(Sejarah Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an)[1]
Oleh: M. Romdloni[2]
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus kita imani dan diaplikasikan dalam kehidupan agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Upaya itu telah mereka laksanakan sejak Nabi Muhammad SAW masih berada di Mekkah dan sebelum berhijrah ke Madinah hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak Al-Qur’an diturunkan hingga saat ini.
Memahami dan mengerti asbab an-nuzul sangat besar manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turunya Al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan kesulitan dalam memberikan arti ayat-ayat Al-Qur’an.
Imam Al-Wahidi menyatakan “Tidak mungkin orang mengerti tafsir suatu ayat, kalau tidak mengetahui cerita yang berhubungan dengan ayat-ayat tersebut”, tegasnya untuk mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu harus mengetahui sebab-sebab ayat itu diturunkan.
Para peneliti ilmu-ilmu Al-Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbab an-nuzul. Untuk menafsirkan Al-Qur’an, ilmu ini sangat diperlukan, sehingga ada yang mengambil spesialisasi dalam bidang ini. Yang terkenal diantaranya ialah Ali bin Al-Madini, guru Al-Bukhari, kemudian Al-Wahidi dalam kitabnya asbab an-nuzul, kemudian Al-Jabiri yang meringkaskan kitab Al-Wahidi dengan menghilangkan sanad-sanad yang ada didalamnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul Syaikhul Islam Ibnu Hajar penulis kitab Asbab An-Nuzul tetapi As-Suyuthi hanya menemukan satu juz dari naskah kitab ini. Kemudian As-uyuthi melahirkan karya monumentalnya dan berkata “Dalam hal ini saya telah menulis satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik, dalam bidang ilmu ini yang belum ada dalam kitab pun yang dapat menyamainya. Kitab ini saya beri judul Lubab Al-Manqul fi Asbab An-Nuzul”.[3]
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Asbab An-Nuzul
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”.[4] Menurut bahasa (etimologi), asbab an-nuzul berarti turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat Al-Qur’an. Asbab an-nuzul adalah suatu peristiwa atau apa saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.[5]
Menurut istilah atau secara terminologi asbab an-nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya:
a. Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.[6]
b. Ash-Shabuni
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.[7]
c. Subhi Shalih
مَانَزَلَتِ الآياَتُ بِسَبَبِهِ مُتَضَمٍّنَةً لَهُ اَوْ مُجِيْبَةً عَنْهُ اَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.[8]
d. Mana’ Al-Qathan
مَانَزَلَ قُرْآنٌ بِشَأْنِهِ وَقْتَ وُقُوْعِهِ كَحَادِثَةٍ اَوْ سُؤالٍ
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.[9]
e. Nurcholis Madjid
“Asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Al-Qur’an kepada Nabi saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat”.[10]
Adapun pengertian asbab an-nuzul secara ishtilahi sebagaimana disebutkan oleh Shubhi Al-Shalih dalam bukunya Mabahits Fi Ulumil Qurâ an adalah sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.
Definisi yang dikemukakan oleh Shubhi Al-Shalih tersebut memberikan pengertian bahwa sebab turun ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Oleh karena itulah maka setiap turun suatu ayat atau beberapa ayat, hal itu adalah untuk menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa atau sebagai jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun demikian tidak semua ayat Al-Qur’an itu turun dengan adanya asbab an-nuzul, sebab banyak juga ayat-ayat Al-Qur’an yang turun tanpa sebab dan bahkan banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan keimanan, kewajiban, syari’at agama dan kisah para Nabi dan Rasul terdahulu turun tanpa sebab.
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
2. Urgensi Asbab An-Nuzul
Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkanya dalam konteks historis itu sama dengan membatasi pesan-pesanya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidaklah berdasar karena tidak mungkin menguniversalkan pesan Al-Qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahanya.
Dalam suatu pernyataannya, Ibnu Taimiyah menyatakan:
مَعْرِفَةُ سَبَبِ االنُّزُوْلِ تُعِيْنُ عَلاَ فَهْمِ الايَةِ فَإِنَّ الْعِلْمَ بِاالسَّبَبِ يُوْرِثُ الْعِلْمَ بِالْمُسَبَبِ
“Asbab an-nuzul sangat menolong dalam menginterpretasikan Al-Qur’an”.[11]
Ungkapan senada dikemukakan oleh Ibnu Daqiq Al’Ied dalam pernyataanya:
بَيَانُسَبَبِ النُّزُوْلِ طَرِيْقٌ قَوِيٌّ فِى فَهْمِ مَعَانِيَ الْكِتَابِ الْعَزِيْزِ
“Penjelasan terhadap asbab an-nuzul merupakan metode yang kondusif untuk mengintrerpretasikan makna-makna Al-Qur’an”.[12]
Al-Wahidi menyatakan ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa mempertimbangkan aspek kisah dan asbab an-nuzul
لاَيُمْكِنُ مَعْرِفَةُ تَفْسِيْرِ الاَيَةِ دُوْنَ الْوُقُوْفِ عَلىَ قِصَّتِهَا وَبَيَانِ نُزُوْلِهَا
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi asbab an-nuzul dalam memahami Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:[13]
a. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 115 dinyatakan bahwa timur dan barat merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus shalat, dengan melihat dhahir ayat di atas, seseorang boleh menghadap kearah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya. Ia tidak berkewajiban ntuk menghadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi, setelah melihat asbab an-nuzul-nya, kekeliruan intrerpretasi tersebut sangat jelas sebab ayat di atas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan atau berkaitan dengan orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.
Contoh kedua, diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bahwa Marwan menemui kesulitan ketika memahami ayat: (QS. Ali-Imran: 188)
w ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# tbqãmtøÿt !$yJÎ/ (#qs?r& tbq6Ïtä¨r br& (#rßyJøtä $oÿÏ3 öNs9 (#qè=yèøÿt xsù Nåk¨]u;|¡øtrB ;oy$xÿyJÎ/ z`ÏiB É>#xyèø9$# ( öNßgs9ur ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÑÑÈ
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang Telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih”
Marwan memahami ayat di atas sebagai berikut: jika setiap orang yang bergembira dengan usaha yang telah diperbuatnya dan suka dipui atas usahanya yang belum dikerjakan., akan disiksa, maka kita semua akan disiksa. Ia memahami ayat tersebut seperti itu sampai Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan ahli kitab. Ketika ditanya oleh Nabi tentang sesuatu, mereka menyembunyikanya bahwa tindakanya di luar permintaan Nabi. Mereka beranggapan bahwa tindakanya itu berhak mendapat pujian dari Nabi. Maka turunlah ayat tersebut.
b. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Umpamanya dalam surat Al-An’am: 145
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9Í\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã ¨bÎ*sù /u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ
"Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang".
Menurut As-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (hasr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di atas. As-Syafi’i menggunakan asbab an-nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Mereka mengharamkan apa yang telah di halalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang Yahudi, maka turunlah ayat di atas.
c. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafaz yang bersifat umum. Dengan demikian ayat zihar dalam permulaan surat Al-Mujadalah, yaitu yang berkenaan dengan Aus bin Samit yang menzihar istrinya Khaulah binti Hakim Ibnu Tsa’labah, hanya berlaku bagi kedua orang tua tersebut. Hokum zihar yang berlaku bagi selain mereka ditentukan dengan jalan analogi (qiyas).
d. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunya ayat Al-Qur’an, umpamanya, ‘Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abd. Ar-Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang menyebabkan turunya ayat: “Dan orang yang mengatakan kepada orang tuanya “Cis kamu berdua… (QS. Al-Ahqaf: 17). Untuk meluruskan persoalan, ‘Aisyah berkata kepada Marwan, “Demi Allah, bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa arang yang sebenarnya.”
e. Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat,serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya. Hal ini karena hubungan sebab akibat (musabab) hukum, peristiwa dan pelaku masa dan tempat merupakan satu jalinan yang dapat mengikat hati.
3. Beberapa Faedah Mengetahui Asbab An-Nuzul
Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:[14]
a. Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum.
b. Menentukan hukum (takhshish) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat itu dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
c. Mengetahui siapa orangnya yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan.
d. Dan lain-lain yang ada hubungannya dengan faedah ilmu Asbaun Nuzul.
Beberapa contoh tentang faedah ilmu Asbabun Nuzul.
Pertama:
Marwan ibnul Hakam sulit dalam memahami ayat:
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang mereka telah kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksaan. (QS. Ali-Imrân: 188).
Beliau memerintahkan kepada pembantunya: "Pergilah menemui Ibnu Abbas dan katakan kepadanya, bila semua orang telah merasa puas dengan apa yang telah ada dan ingin dipuji terhadap perbuatan yang belum terbukti hasilnya pasti ia akan disiksa dan kamipun akan terkena siksa". Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya (pembantu), bahwa ia (Marwan) merasa kesulitan dalam memahami ayat tersebut dan kemudian Ibnu Abbas menjelaskannya: "Ayat tersebut turun sehubungan dengan persoalan Ahli Kitab (Yahudi) tatkala ditanya oleh Nabi SAW, tentang sesuatu persoalan dimana mereka tidak menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditanyakan, mereka mengalihkan kepada persoalan yang lain serta menganggap bahwa persoalan yang ditanyakan oleh Nabi kepadanya telah terjawab. Setelah itu mereka meminta pujian kepada Nabi, maka turunlah ayat tersebut di atas. (HR. Bukhari Muslim).
Kedua:
Urwah Ibnu Jubair juga mengalami kesulitan dalam memahami makna firman Allah SWT:
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. (QS. Al-Baqarah: 158).
Menurut zhahir ayat dinyatakan bahwa sa'i antara Shafa dan Marwah adalah tidak wajib, bahkan sampai Urwah ibnu Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah r.a.: "Hai bibiku! sesungguhnya Allah telah berfirman: "tidak mengapa baginya untuk melakukan sa'i antara keduanya", karena itu saya berpendapat bahwa "tidak apa-apa bagi orang yang melakukan Haji Umrah sekalipun tidak melakukan sa'i antara keduanya". Aisyah seraya menjawab: "Hai keponakanku! kata-katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya sebagaimana yang kau katakan niscaya Allah berfirman "tidak mengapa kalau tidak melakukan sa'i antara keduanya".
Setelah itu Aisyah menjelaskan: bahwasanya orang-orang Jahiliyah dahulu melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah sedang mereka dalam sa'inya mengunjungi dua patung yang bernama Isaar yang berada di bukit Shafa dan Na'ilah yang berada di bukit Marwah. Tatkala orang-orang masuk Islam diantara kalangan sahabat ada yang merasa berkeberatan untuk melakukan sa'i antara keduanya karena khawatir campur-baur antara ibadah Islam dengan ibadah Jahiliyah. Dari itu turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keberatan mereka (yang mengatakan) kalau-kalau tercela atau berdosa dan menyatakan wajib bagi mereka untuk melakukan sa'i karena Allah semata bukan karena berhala. Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat Urwah berdasarkan sebab turun ayat.
4. Macam-macam Asbab An-Nuzul
a. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
1) Sarih (jelas)
Artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabunnuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).
سَبَبُ نُزُوْلِ هَذِهِ الآيَةِ هَذَا...
Artinya: “Sebab turun ayat ini adalah…
حَدَثَ هَذَا... فَنَزَلَتِ الآيَةُ...
Artinya: “Telah terjadi …… maka turunlah ayat…
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ كَذَا... فَنَزَلَتِ الآيَةُ...
Artinya: “Rasulullah pernah ditanya tentang …… maka turunlah ayat…
Contoh riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah riwayat yang dibawakan oleh Jabir yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berkata, “Apabila seorang suami mendatangi kubul istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling”. Maka turunlah ayat:
2) Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan.
نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِى كَذَا...
Artinya: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…
اَحْسِبُ هَذِهِ الآيَةُ نَزَلَتْ فِى كَذَا...
Artinya: “Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan …
مَا اَحْسِبُ نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ اِلاَّ فِى كَذَا...
Artinya: “Saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan…
b. Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul
1) Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
Tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab an-nuzul dalam stu versi. Aakalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-nuzul. Bentuk variasi itu terkadang terdapat dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbab an-nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengemukakan cara sebagai berikut:
a) Tidak mempermasalahkanya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat asbab an-nuzul ini menggunakan redaksi muhtamilah (tidak pasti). Misalnya, satu versi menggunakan redaksi, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…” dan versi lain menggunakan redaksi, “Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan…”. Variasi asbab an-nuzul ini tidak perlu dipermasalahkan karena yang dimaksud oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsir belaka dan bukan sebagai asbab an-nuzul. Hal ini berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukkan bahwa salah satunya memaksudkan asbab an-nuzul.
b) Mengambil versi riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab an-nuzul itu tidak menggunakan redaksi sharih (pasti). Misalnya, riwayat asbab an-nuzul yang menceritakan kasus seorang lelaki yang menggauli dari belakang. Mengenai kasus itu, Nafi berkata, “Satu hari aku membaca ayat ’nisaukum khartsun lakum (Q.S. Al-Baqarah: 223)” Ibnu Umar kemudian berkata, “Tahukah engkau, mengenai apa ayat ini diturunkan? “Tidak” jawabku. Ia melanjutkan “ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang”. Sementara itu Ibnu Umar menggunakan redaksi yang tidak sharih (pasti), yang salah satu riwayat Jabir dikatakan:
“Seorang Yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang menyetubuhi istrinya dari belakang, maka anak yang lahir akan juling. Maka diturunkanlah ayat nisaukum khartsun lakum ”
Dalam riwayat ini, riwayat Jabir-lah yang harus dipakai karena ia menggunakan redaksi sharih (pasti).
c) Mengambil versi riwayat yang sahih (valid)
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi sharih (pasti), tetapi kualitas salah satunya tidak sahih.
Sedangkan terhadap variasi riwayat asbab an-nuzul dalam satu ayat yang versinya berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Mengambil versi riwayat yang sahih
Cara ini diambil bila terdapat dua versi riwayat tentang asbab an-nuzul satu ayat, yang salah atu versi berkualitas sahih, sedangkan yang lainya tidak.
b) Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua versi asbab an-nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya sama-sama sahih, seperti asbab an-nuzul yang berkaitan dengan turunya ayat tentang ruh.
c) Melakukan studi kompromi (jama’)
Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih. Misalnya dua versi riwayat asbab an-nuzul yang melatar belakangi turunya ayat muamalah surat An-Nur: 6.
2) Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan Said bin Mansyur, Abdurrazzaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabrani dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikit pun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan:
z>$yftFó$$sù öNßgs9 öNßg/u ÎoTr& Iw ßìÅÊé& @uHxå 9@ÏJ»tã Nä3YÏiB `ÏiB @x.s ÷rr& 4Ós\Ré& ( Nä3àÒ÷èt/ .`ÏiB <Ù÷èt/ ( t
Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonanya (dengan berfirman); Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan; karena sebagian kamu adalah turunan bagi sebagian yang lain”. (QS. Ali-Imran: 195)
Juga hadits yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasai, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, At-Thabrani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah katanya, “Aku telah bertanya, ‘Wahai Rasululullah, mengapakah kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? ‘Maka pada suatu hari aku dikejutkan degan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan:
¨bÎ) úüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#ur …
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim”. (QS. Al-Ahzab; 35)
Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian dibanding laki-laki? Maka Allah menurunkan ayat:
wur (#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 …
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain; karena bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula…” (QS. An-Nisa: 32)
5. Kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan dengan Asbab An-Nuzul
Asbab an-nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contohnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 115)
Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat.[15]
Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbab an-nuzul tersebut mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 115.
6. Sikap Penulis
Dalam kajian Ulumul Qur’an, asbab an-nuzul menjadi suatu kajian ilmu yang sangat penting. Dikarenakan ilmu ini sangat mempengaruhi dalam menafsirkan suatu ayat. Seorang mufasir harus memahami ilmu asbab an-nuzul untuk menafsirkan suatu ayat.
Asbab an-nuzul juga berfungsi sebagai penjelas dalam menetapkan suatu hukum Islam. Kadang suatu ayat Al-Qur’an itu mempunyai arti umum sehingga kalangan awam akan sulit untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Untuk itulah, untuk mengetahui makana yang terkandung di dalamya perlu sekali seorang mufasir mengetahui asbab an-nuzul.
C. PENUTUP
1. Asbab an-nuzul adalah sebab turunnya Al-Qur’an (berupa peristiwa/pertanyaan) yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
2. Macam-macam asbab an-nuzul ada 2, yaitu:
a. Dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul meliputi sharih dan muhtamilah
b. Dari sudut pandang terbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu asbab an-nuzul meliputi:
1) Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
2) Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat
4. Urgensi asbabun nuzul
a. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
c. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
d. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunya ayat Al-Qur’an.
e. Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat,serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
6. Kaidah hukum yang belum jelas dalam Al-Qur’an, dapat dipermudah dengan mengetahui asbab-nuzulnya. Karena dengannya penafsiran ayat lebih jelas untuk dipahami.
D. DAFTAR RUJUKAN
1. Al-Qur’anul Karim
2. Ahmadehirjin, Moh. 1998. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa.
3. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh. 1989. Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an. Semarang: Dina Utama.
4. Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2008. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terj. Aunur Rafiq. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
5. _____________________. 1973. Mabahits fi Ulumul Qur’an. t.t. Mansyurat al-Ahsan al-Hadits.
6. Anwar, Rosihon. 2006. Ulumul Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia.
7. Ash-Shabuni, Muhammad. 1390. Ali At-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Damaskus: Maktabah Al-Ghazali.
8. Ash-Shidieqy, T. M. Hasbi. 1973. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.
9. Az-Zarqani, Muhammad Abd. Al-‘Azhim. t. t. Manahil Al-Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: t.t., jilid I.
10. Bakar, Rohadi Abu. 1986. Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an). Semarang: Wicaksana.
11. Khalafullah, Muhammad A. 2002. Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.
12. Shalih, Subhi. 1988. Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an. Beirut: Dar Al-Qalam li Al-Malayyin.
13. Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. 2006. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia.
14. Syafi’i, Rachmat. 1973. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.
15. Thaba’thaba’i, Allamah M.H. 1987. Mengungkap Rahasia al-Qur’an. Bandung: Mizan.
[1] Makalah dipresentasikan pada hari senin, 23 Nopember 2010
[2] Mahasiswa PPs UIN Maliki Prodi PAI
[3] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Terj. Aunur Rafiq (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 93.
[4] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), hlm. 60.
[5] Ahmad Syadali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hlm. 89.
[6] Muhammad Abd. Al-‘Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: t.t., jilid I), hlm. 106.
[7] Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Damaskus: Maktabah Al-Ghazali, 1390), hlm. 22.
[8] Subhi Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an (Beirut: Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, 1988) hlm. 132.
[9] Mana’ Al-Qathan, Mabahits fi Ulumul Qur’an (t.tp: Mansyurat al-Ahsan al-Hadits,., 1973), hlm. 78.
[10] Moh. Ahmadehirjin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, 1998), hlm. 30.
[11] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut, t.t., Jilid I), hlm. 29.
[12] Ibid, hlm. 29.
[13] Rosihon Anwar, op.cit. hlm. 64-66.
[15] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 12.
Bagus pak Hobir, blog ini bisa menambah wawasan kita semua, jg yang terpenting adalah semoga blog ini bisa mempererat tali ukhuwah kita bersama,,,,,
BalasHapus