Sabtu, 09 Juli 2011

Hermeneutika Al-Qur'an

Abdul Hobir 10770031
BAB I
PENDAHULUAN
  

A.    Latar Belakang
Dalam kajian ilmu Tafsir, berbagai priodesasi, klasifikasi, ataupun kronologis interpretasi al-Qur’an ditawarkan dalam rangka mempermudah menjelaskan apa itu tafsir al-Qur’an dan bagaimana perkembangannya, baik yang dilakukan oleh ulama muslim maupun cendekiawan Barat, namun usaha-usaha tersebut tidak membuat teori tentang tafsir itu sendiri final. Tafsir tetap membuka kemungkinan lahirnya wacana baru, yang mungkin bisa dianggap tidak pernah berhenti. Seperti metode penafsiran hermeneutika.
Secara etimologis kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani “hermeneue” yang dalam bahasa Inggris menjadi hermeneutics,[1] yang berarti menginterpretasikan, menjelaskan, menafsirkan atau menerjemahkan. Dapat disimpulkan hermeneutika adalah disipilin filsafat yang berupaya menjelaskan, mengungkapkan, memahami dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dan pengejawantah dari suatu teks, wacana dan realitas sehingga sampai pada isi, maksud dan makna terdalam serta arti yang sebenarnya.[2] Atau lebih ringkas hermeneutika diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti”.[3]
Salah satu persoalan yang hendak dijembatani oleh hermeneutika adalah terjadinya jarak antara penulis dan pembaca, yang antara keduanya dihubungkan oleh teks. Ketika sebuah teks hadir di hadapan kita, sesungguhnya kita tidak bisa memahami teks secara sempurna tanpa menelusuri kondisi sosio-kultural dan psikologis penulisnya. Maka, hal itu meniscayakan dialog intens antara penulis (author), teks (texs) dan pembaca (reader). Hermeneutika menegaskan bahwa manusia otentik selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu, manusia sendiri mengalami atau memahami.[4] Al-Qur’an sendiri dipandang sebagai kalam Allah yang redaksinya telah ditransformasikan ke dalam bahasa manusia, sehingga secara hermeneutika terdapat dua acuan pengarang. Yang absolut adalah Allah, tetapi firman yang absolut ini telah dijembatani oleh nabi Muhammad SAW yang memiliki dua kapasitas, yaitu Illahi dan insani.[5] Dengan demikian yang perlu dipertimbangkan dengan baik ketika seseorang hendak menafsirkan al-Qur’an adalah kondisi sosial masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad masih hidup atau ketika al-Qur’an turun. Hal itu antara lain bisa diketahui lewat asbabun-nuzul ayat itu.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami makna kandungan literalnya. Lebih dari itu hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horisan yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horison pengarang dan horison pembaca.[6] Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut, diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang disamping melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya; juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.[7]
Konsep yang dibangun hermeneutika ini memang cukup menarik, dengan berusaha untuk mengetahui makna yang terdalam dari suatu teks, dengan berusaha menjembatani penulis, teks dan pembaca sehingga akan terjadi kesinkronan antara teks dan konteks yang akhirnya bisa memunculkan kontekstualitas. Namun, dengan bangunan konsep hermenutika yang cukup menarik itu, apakah cocok digunakan sebagai salah satu metode menafsirkan kitab suci (al-Qur’an) atau sebagian saja yang cocok. Demikian juga, apakah produk tafsir hermeneutika itu bisa menemukan makna terdalam ataukah malah mengaburkan makna.

B.    Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada deskripsi latar belakang di atas, maka makalah ini hendak menjawab tiga permasalahan;
1.     Apa pengertian hermeneutika?
2.     Bagaimana sejarah hermeneutika?
3.     Bagaimana pendekatan Hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hermeneutika
Istilah Hermeneutika dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya kajian Al Quran klasik, tidak di temukan (sekalipun dalam segi penerapan hampir mirip dengan sebuah aliran penafsiran yang muncul di masa-masa kodifikasi tafsir dan berkembangnya aliran pemikiran Islam yaitu aliran Bathiniyah). Istilah Hermeneutika ini –kalau melihat sejarah perkembangan Hermeneutika modern- mulai populer beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak intelektual muslim kontemporer.[8]
Secara etimologis, Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein”, yang berarti mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata. Kata kerja itu juga berarti “menerjemahkan” dan juga bertindak sebagai “penafsir”. Dan menurut Mudjia, Hermeneutika adalah upaya peralihan dari sesuatu yang gelap ke sesuatu yang terang.[9]
Pendapat lainnya mengatakan bahwa Hermeneutika diambil dari kata Hermes. Dalam metodologi Yunani terdapat dewa dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes.[10] Ia bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan-pesan Tuhan kepada manusia kedalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Dalam tugasnya, ia tidak hanya mengumumkan kata-demi kata saja, melainkan juga bertindak sebagai penerjemah yang membuat kata-kata dewa dapat dimengerti dengan jelas dan bermakna, yang dapat memunculkan beberapa penjelasan atasnya atau hal-hal lain sebagai tambahan. Hermeneutika secara konsekuen terikat pada dua tugas ini: pertama, memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks atau simbol yang lain, dan kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis.[11] Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep Hermeneutika kemudian digunakan.[12]
Dalam keyakinan Yunani, Hermes menerjemahkan dan menjelaskan pesan para dewa yang masih samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Para hermeneut menyamakan peran Hermes yang mereka yakini sebagai Nabi Idris[13] tersebut dengan peran Nabi Muhammad yang menyampaikan risalah Allah melalui Al-Quran kepada umat manusia sekaligus menjelaskannya kepada mereka. Para hermeneut menganggap bahwa Hermeneutika serupa dengan Tafsir yang berfungsi menjelaskan Al-Quran.
Adapun dalam menentukan terminologi yang pas tentang Hermeneutika tidaklah mudah. Tidak cukup hanya dalam rentetan satu atau dua kalimat. Para hermenut sendiri berbeda dalam mendefinisikannya. Hans Georg Gaddamer (1900-1998/2002) mendefinisikan Hermeneutika sebagai solusi dari permasalahan pemahaman dengan menyederhanakan makna dan mencoba mamahami dengan cara tertentu.[14] Zygmunt Bauman mengatakan bahwa Hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusui pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca,[15]

B.    Sejarah Hermeneutika
Al Quran menyatakan bahwa sebelum dia diturunkan, Allah telah lebih dahulu menurunkan kitab-kitab suci lainnya kepada beberapa orang Rasul sebelum Muhammad Saw. Antara lain misalnya Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud dan Injil kepada Nabi Isa As. Problematika yang muncul kemudian adalah bahwa kitab-kitab suci tadi hanya mampu bertahan keoriginalannya pada periode-periode awal turunnya. Sedangkan pada periode selanjutnya, terutama setelah meninggalnya para nabi dan sahabat-sahabatnya tidak terpelihara dengan baik. Generasi yang datang setelah itu baik sengaja maupun tidak telah banyak melakukan perubahan-perubahan dari teks asli kitab suci mereka, menyesuaikan dengan hawa nafsu dan keinginan masing-masing. Begitu seterusnya, sehingga semakin jauh dari masa kenabian maka semakin berubah dari teks aslinya. Informasi dan kecaman terhadap hal ini banyak kita dapatkan dalam kitab suci yang turun sebagai penyempurna kitab-kitab tadi yaitu Al Quran.[16]
Akibat perubahan dan penyimpangan inilah sehingga di kemudian hari para Teolog Yahudi Kristen setelah mempelajari secara kritis menyimpulkan bahwa baik Taurat maupun Injil yang selama ini dianggap sebagai kitab suci ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar.
Hermeneutika dalam teologi Yahudi-Kristen lahir dan berkembang dari pemberontakan mereka terhadap otoritas Bible dan gereja yang banyak menyimpang dari nilai-nilai keilmuan dan sosial. Mereka menolak teks Bible dan berusaha agar Bible tidak mencampuri kehidupan mereka. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam kasus makanan haram yang telah ditentukan dalam Bible ditafsirkan dengan makna lain yang berubah dari pemahaman teksnya. Teks yang secara jelas mengharamkan hewan-hewan tertentu untuk dikonsumsi, ditafsirkan dengan sifat-sifat buruk yang dimiliki hewan-hewan itu yang mesti dijauhi.
Hermeneutika sendiri mengalami banyak kali pergeseran makna sesuai kecenderungan dan kondisi sosial para tokohnya. Di sana kemudian banyak terjadi perdebatan sengit antara masing-masing pemahaman. Ini disebabkan karena metode ini tidak terlahir lengkap dan siap pakai. Namun ia berkembang secara berangsur-angsur mengikuti perkembangan tokoh dan perumusnya. Intinya adalah bahwa hermeneutika akhirnya berakhir pada titik all understanding is interpretation, semua pemahaman adalah penafsiran, oleh karenanya akan sangat mengacu pada subyektivitas penafsir.
Secara ringkas sejarah Hermeneutika dalam teologi Kristiani berikut pertentangan dan perspektif masing-masing tokoh itu adalah sebagai berikut[17]:
1.     Istilah Hermeneutika baru pertama kali ditemukan dalam karya Plato (429-347 SM)
2.     Metode Hermeneutika alegoris[18] dikembangkan oleh Philo of Alexandria (20 SM-50M). Ia adalah seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak Metode Hermeneutika Alegoris.
3.     Metode Hermeneutika alegoris ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi kristen, tokohnya Origen (sekitar 185-254) Ia berhasil menulis kitab Perjanjian Lama dengan menggnakan metode ini, dan berikutnya dikembangkan oleh Johanes Cassianus (360-430)
4.     Metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Yang pertama dipengaruhi oleh Hermeneutika Plato dan yang kedua berkiblat pada Heremeneutika Aristoteles. Seorang teolog dan filosof Kristen, St. Augustine of Hippo (354-430) mengambil jalan tengah dan memberi makna baru kepada Hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik
5.     Thomas Aquinas (1225-1274) mengembangkan metode Hermeneutika dalam teologi Kristen dengan menggabungkan filsafat Aristoteles dengan doktrin-doktrin Kristiani.
6.     Para tokoh reformasi Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) melakukan perubahan sikap dan perlawanan terhadap Bible dan otoritas gereja
7.     Teori Hermeneutika berkembang menjadi metode interpretasi dan mulai menyamakan Bible dengan teks-teks lainnya dapat ditemukan awal mulanya pada karya J.C Dannheucer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum (terbit tahun 1654). Protes terhadap otoritas gereja yang bertentangan dengan akal muncul dalam karya Benedictus de Spinoza (1632-1677), Tractatus Theologico-Politicus (terbit 1670). Beberapa filosof dan teolog terkenal dari Universitas Halle Christian Wolff (1679-1754), Siegmund J. Baumgarten (1706-1755), Johann S. Semler (1725-1791) ikut berperan bagi derasnya arus pemikiran liberal bahkan sekuler ini. Masyarakat barat telah lebih cenderung menggunakan akal secara mandiri dan melepaskan diri bahkan tidak lagi percaya pada doktrin-doktrin tradisional keagamaan.
8.     Perkembangan makna Hermeneutika dari sekedar ilmu interpretasi menuju kepada metodologi pemahaman dilontarkan oleh seorang pakar filologi, Friedriech Ast (1778-1841). Di pertengahan abad ke tujuh belas sebenarnya tanda-tanda menuju pergesaran makna itu sudah mulai terlihat. Keyakinan bahwa teks hanyalah perwakilan dari dunia mitos dan realitas masyarakat modern sebagai gambaran dunia ilmiah menjadi awal mula berubahnya penggunaan metodologi Hermeneutika dari sekedar disiplin ilmu yang mengkomunikasikan pesan-pesan Bible menjadi alat memahami dengan objek yang lebih terbuka.
9.     Munculnya Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), seorang alumni dan dosen Universitas Halle (1805), filosof sekaligus pendeta mejadi babak baru perkembangan Hermeneutika. Dia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika Modern sekaligus sebagai Pendiri Protestan Liberal. Dialah yang pertama kali berusaha membakukan Hermeneutika sebagai satu metode umum interpretasi yang tidak hanya tebatas pada kitab suci dan sastra. Karena berlatar belakan pendeta sekaligus filosof, Schleiermacher membelokkan makna hermeneutika menjadi metododlogi pemahaman dalam pengertian filsafat. Dia berpendapat bahwa Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Interpretasi yang benar menurut teori Schleiermacher tidak saja melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang tapi juga pemahaman terhadap subyektifitas pengarang. Jika kesadaran pengarang dilihat dalam konteks kultural yang lebih luas, maka ia dapat memahami pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan Al Quran, teori ini irrelevan dan irrasional. Karena manusia tidak mungkin memproduksi kembali sikap mental Tuhan ketika mewahyukan Al Quran.
10.  Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof, kritikus sastra dan sejarawan asal Jerman, mengkritisi Hermeneutika Schleiermacher. Lagi-lagi terjadi pemaknaan baru yang kemudian dikenal dengan Hermeneutika Dilthey. Menurutnya, Hermeneutika adalah "teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan." Ia membelokkan makna Hermeneutika menjadi metodologi sejarah.
11.  Hans Georg Gadamer (1900-1998) yang datang setelah itu mengkritik Dilthey dan menekan Hermeneutika menjadi kajian ontologis yang lebih konsentrasi pada konteks tradisi filsafat barat. Ini antara lain dikarenakan Gadamer sendiri besar dilingkungan filsafat fenomeologi Jerman. Tidak lama kemudian Jurgen Hebermas yang berlatar belakang filsafat sosial Marxis mengkritik Gadamer dan menggeser makna Hermeneutika menjadi metode pemahaman yang bernuansa kepentingan (interest), khusunya kepentingan kekuasaan.
12.  Mohammed Arkoun, Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Sorbon dengan isu dekonstruksi yang menurutnya akan memperkaya keilmuan Islam. Dekonstrusi yang dia maksud adalah membongkar hal-hal yang selama ini telah menjadi kesepakatan umum di kalangan ummat Islam, menghilangkan nilai-nilai kesakralan, menekankan kajian pada aspek historis dan memulai kajian-kajian krititik Bible. Bagi Arkoun, mushaf yang ada saat ini tidak layak untuk disucikan, sebab nilai kebenarannya tidak sebagaimana yang ada pada zaman kenabian. Mushaf yang tertulis ini lebih tidak akurat, tidak outentik dan berkurang dari kitab yang diturunkan, yang masih dalam bentuk lisan. Menurut Arkoun, kajian yang dia lakukan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Zaid.
13.  Nasr Hamid Abu Zaid (1943-.....), Dosen Bahasa Arab dan Studi Al Quran di Universitas Kairo dan dosen tamu di Universitas Leiden sejak 1995 hingga sekarang. Ia mengaku sebagai seorang Islamolog dan namanya dikenal dengan isu kontroversialnya bahwa Al Quran adalah cultural product, atau dalam istilah Abu Zaid, Al Muntâj Ats Saqafy (produk budaya). Dalam kajiannya terhadap Al Quran, Abu Zaid menggunakan sebuah metodologi yang secara simplistis dipaksakan penyebutannya sebagai metode analisa teks bahasa-sastra (Nahju At Tahlîl An Nushûs Al Lughawiyah Al Adabiyah). Menurutnya, metode ini adalah satu-satunya metode yang mungkin digunakan dalam mengkaji pesan dan memahami Islam. Metode ini adalah bagian dari hermeneutika yang dipelajari Abu Zaid ketika dia berada di Pennsylvania, Phidelphia antara tahun 1978 hingga tahun 1980. Diantara karya-karyanya adalah Mafhûmun Nash dan Naqdul Khitâb Ad Dîny. Ia menuduh para ulama Islam terdahulu telah melakukan dikotomi antara realitas dan teks.

C.    Kajian Tentang Pendekatan Hermeneutika Dalam Tafsir Al-Qur’an
Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi, menyatakan bahwa salah satu elemen esensial teori hermeneutis adalah konsepsi yang cukup luas dari interpretasi itu sendiri. Dengan demikian interpretasi lebih luas dari dunia linguistik, karena sifatnya yang konstan pada tingkat-tingkat non linguistik dan teranyam ke dalam struktur keseluruhan hidup manusia bersama-sama. Sebuah karya sastra misalnya, untuk memahaminya tidak hanya sebatas konseptualnya; tapi ia merupakan suara yang harus kita dengar, melalui pemahaman “pendengaran” (bukan melihat), dengan demikian karya sastra bukan merupakan sainstifik yang lepas dari eksistensi menuju dunia konsep; melainkan merupakan pertemuan historis yang menghajatkan pengalaman keberadaan manusia di dunia.[19] Buku Palmer ini menekankan pada bangunan konsep hermeneutika sejak awal dan perkembangannya.
Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika Qur’ani, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami makna literalnya. Lebih jauh dari itu, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horison pengarang dan horisin pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut, diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang disamping melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan pengarangnya ke dalam teks yang dibuatnya; juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi teks dibaca atau dipahami. Dalam dataran praktis, Faiz menemukan penafsiran al-Qur’anyang dilakukan oleh Rashid Ridho, Muhammad Abduh dan Hamka secara umum telah menunjukkan operasionalisasi hermeneutika modern, meskipun disana-sini masih terdapat kelemahan yang tidak sesuai dengan semangat hermeneutika itu sendiri.[20] Tulisan Faiz ini lebih menfokuskan pada kajian terhadap beberapa kitab tafsir, kemudian mencari persesuaian –dalam metode penafsirannya- dengan teori-teori yang dikembangkan hermeneutika.
Islah Gusmian dalam bukunya, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi berusaha mengungkap keragaman teknis penulisan dan hermeneutika serta ideologi yang diusung oleh literatur tafsir di Indonesia, dengan tujuan untuk mengungkap paradigma epistemologi yang digunakan penafsir dalam membangun kerangka metodologi tafsir dan juga untuk memperlihatkan hubungan antara penulis (pembicara), pembaca (pendengar), dan teks serta kondisi dimana sesorang memahami sebuah teks (al-Qur’an). Selain dengan melihat paradigma epistemologi, digunakan juga analisis wacana kritis, dengan tujuan untuk menyingkap kepentingan dan ideologi yang terselip di balik bahasa yang digunakan dalam penulisan literatur tafsir.[21] Dari situ Gusmain memetakan tafsir Indonesia berdasarkan metode, nuansa dan pendekatan, misalnya Tafsir Kebencian karya Zaitunah Subhan; dari segi metode termasuk pemikiran, nuansa sosial kemasyarakatan (relasi antar laki-laki dan perempuan), dengan pendekatan kontekstual. Menurutnya perlu dikembangkan hermeneutika al-Qur’an keindonesian, yaitu suatu hermeneutika Qur’ani yang bertitik tolak dari problem sosial kemasyarakatan yang dibangun oleh teks al-Qur’antapi juga problem sosial-kemasyarakatan dimana penulis tafsir berada bersama audiensnya, yakni masyarakat Indonesia.
Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya Hermenutika Inklusif Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, mengembangkan konsep dengan mempertemukan antara ta’wil (tafsir bi al- ra’yi) dalam Islam dan hermeneutika yang titik tekannya adalah relasi penafsir dengan teks. Dalam tradisi Arab lama maupun sekarang diskursus antara penafsir dengan teks sudah ada. Hermeneutika Barat menurut Abu Zayd mampu untuk membaca teks-teks Islam dalam realitas kekinian. Secara umum proyek hermenutika yang dibangun Abu Zayd mengandung dua hal; pertama bertujuan untuk menemukan makna asal dari sebuah teks dengan menempatkannya pada sebuah konteks sosio-historisnya. Kedua adalah bertujuan untuk mengklarifikasi kerangka sosio kultural kontemporer dan tujuan-tujuan praktis yang mendorong dan mengarahkan penafsiran.[22]
Muhammad Shahrur dalam bukunya Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab berbahasa Arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan, sastrawi dan ilmiah. Untuk memahami aspek sastrawi al-Qur’anperlu digunakan pendekatan deskriptif-signifikatif, sedang aspek ilmiahnya harus dipahami dengan pendekatan historis-ilmiah, yang keduanya diletakkan dalam bingkai studi linguistik. Shahrur mengembangkan metode memahami al-Qur’andengan istilah yang disebut dengan manhaj al-tartil yang dapat diindentikkan dengan metode intratekstualitas( hubungan antara teks tertentu dengan teks lainnya ).[23]
Gamal al-Banna dalam bukunya Evolusi Tafsir memandang bahwa metode tafsir hermeneutika, baik yang dikembangkan Abu Zayd maupun Shahrur adalah upaya-upaya pembaharuan penafsiran Al-Qur’an. Ketika tema-tema utama al-Qur’anyang menjadi bahan kajian adalah manusia, masyarakat, alam fisika dan metafisika, maka sangat mungkin sekali bila tema-tema tersebut dikaji dengan seksama akan menghasilkan tafsiran al-Qur’anyang berbeda dari penafsiran-penafsiran salaf. Tapi Al-Banna mengkritik pemikiran Abu Zayd sebagai pemikiran atas dasar keterpesonaan terhadap pemikiran orientalis Barat yang secara metodologis selalu menjauhkan diri dari penghargaan terhadap gagasan tentang Tuhan. Sehingga terjebak memperlakukan al-Qur’ansebagaimana kitab lainnya (sebagai produk peradaban ).[24]
Rosihan Anwar dalam bukunya Samudera al-Qur’an menyimpulkan bahwa, pada dasarnya hermeneutika yang ditawarkan adalah berasal dari tradisi filsafat bahasa kemudian melangkah pada analisis psiko-historis-sosiologis. Jadi, jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, persoalan dan tema yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’anitu hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menafsirkan realitas atau bagaimana al-Qur’anitu mampu berbicara dengan generasi yang akan datang setelah teks itu lahir, yang mempunyai corak hidup dan kultur yang berbeda. Dalam hal ini, dilihat dari sudut historis dan filsafat linguistik, begitu kalam Tuhan membumi dan sekarang malah menjelma ke dalam teks, al-Qur’an tidak dapat mengelak untuk diperlakukan sebagai obyek kajian hermeneutic.[25]
Dari literatur-literatur itu lebih mengarah pada difinisi dan prinsip dasar hermeneutika dalam menafsirkan kitab suci (al-Qur’an), kemudian diberi contoh produk tafsir yang dalam beberapa hal telah mengikuti prinsip dasar hermeneutika, tanpa banyak menyinggung bagaimana cara kerja hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an. Demikian juga tidak menyinggung sejauh mana hasil tafsir hermeneutika mencapai makna terdalam dari al-Qur’an. Pembahasan ini berusaha untuk memasuki ruang yang menurut peneliti belum banyak diungkap.
 
D.            Analis Kajian  Tentang Pendekatan Hermeneutika Dalam Tafsir Al-Qur’an
1.                   Cara Hermeneutika Mencapai Makna Sesungguhnya Dari Teks (al-Qur’an)
Hermeneutika sebagai metode pemahaman mencoba memasuki wilayah pemahaman ‘kitab suci’. Pemahaman dalam perspektif hermeneutika adalah bersifat linguistik, historis dan ontologis. Dengan demikian, ‘memahami sesuatu’ berarti menangkap aspek-aspek kebahasaan yang dihadapi seseorang dalam suatu kondisi kesejarahan tertentu, sehingga melalui pemahaman itu eksistensi seseorang dapat berdialog dengan eksistensi yang lain. Pada tataran ini, pemahaman nyaris indentik dengan interpretasi, atau bahkan ia merupakan suatu proses penafsiran terhadap segala sesuatu (teks) yang akan dipahami.
Kalau disederhanakan, sekurang-kurangnya ada tiga unsur penting yang mesti diajukan untuk keperluan mediasi teks dan realitas. Pertama, penguasaan makna dan arah tujuan sebuah teks diproduksi. Pemahaman seperti ini penting agar reproduksi makna yang dilahirkan oleh sebuah teks tidak bergeser dari kerangka dasar shari‘ (pembuat syari’at) yang muaranya tak lain untuk kemaslahatan hamba. Kedua, pengamatan realitas sosial dimana komunitas hukum hidup baik secara individu maupun masyarakat. Penghayatan kondisi sosial mukallaf perlu agar penerapan produk hukum tidak mereduksi kepentingan dan kemaslahatan mereka sendiri. Ketiga, penempatan makna teks terhadap realitas. Maksudnya, bagaimana sebuah produk hukum dapat diterapkan sesuai dengan konteks sosiologis yang tepat guna.[26]
Dalam sejarah hermeneutika tafsir al-Qur’an, terbagi dua; hermeneutika al-Qur’antradisional dan hermeneutika al-Qur’an kontemporer. Hermeneutika al-Qur’antradisional perangkat metodologinya hanya sebatas pada linguistik dan riwayah, jadi belum ada rajutan sistemik antara teks, penafsir dan audiens sasaran teks. Sedangkan hermenutika kontemporer telah melakukan perumusan sistimatis ketiga unsur tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tapi penafsir di satu sisi, dan pembaca di sisi yang lain secara metodologis merupakan bagian yang mandiri.
Penulis memfokuskan pada empat cendekiawan muslim yang memiliki corak hermeneutika tafsir al-Qur’an kontemporer, yaitu; Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad Shahrur. Di Indonesia kelompok Islam Liberal, dilihat dari cara menafsirkan al-Qur’an dimungkinkan untuk dimasukkan pada corak hermeneutika tafsir al-Qur’an kontemporer.
Hasan Hanafi, dalam upaya memahami wahyu dengan sendirinya melibatkan pembacaan sekaligus pemahaman terhadapnya. Sementara pemahaman terhadap al-Qur’an, menurut Hanafi tidak lain memperbincangkan mengenai teori penafsiran yang mampu mengungkap kepentingan masyarakat, kebutuhan kaum muslimin dan isu-isu kontemporer. Dengan teorisasi penafsiran Hanafi bermaksud meletakkan kembali al-Qur’ansebagai sumber dan obyek pengetahuan secara simultan di hadapan rasionalitas sebelum melakukan kegaitan keilmuan lainnya berupa pembuatan hukum. Hermeneutika al-Qur’antradisional tidak pernah melakukan perbincangan teoritis semacam ini secara tuntas sebagaimana yang dimaksudkan Hanafi. Akibatnya tafsir al-Qur’antradisionil tidak otonom namun terjebak pada orientasi metodologis dan disiplin keilmuan klasik Islam.Tafsir tradisional disamping terjebak pada corak penafsiran disipliner. Tafsir tradisional dilihat dari bentuk dan sistimatikanya lebih banyak merupakan tafsir tahlili, suatu penafsiran yang menurut Hanafi bertele-tele.
Disamping karakternya yang realis, tematis, temporal, transformatif dan eksperimental, metodologi tafsir yang ditawarkan Hasan hanafi disamping menunjukkan pembaharuan pemikirannya, juga sekaligus tampak digiring pada proyek pembaharuannya yang bercorak kiri. Keberpihakannya yang menjadi inti gerakan kiri, menjadikan Hasan Hanafi buru-buru menolak pretensi obyektivitas sebagaimana ditemukan dalam hermeneutik al-Qur’an modern. Justru dengan karakter di atas, Hasan Hanafi ingin menegaskan subyektivitas dan kepentingan (ideologis) yang menjadi tujuan penafsirannya. Dampak dari bias kepentingannya ini adalah terjadi kontradiksi dalam pemikiran hermeneutisnya. Di satu pihak membalik paradigma tekstualitas hermeneutika klasik menjadi paradigma realis, sementara di pihak lain, orientasi ilmiah obyektif hermeneutik al-Qur’anmodern dikembalikan pada orientasi subyektif seperti dalam hermeneutik klasik. Pada giliriannya dapat disimpulkan bahwa pendekatan fenomenalogi dan marxis dengan ciri utama analisis konflik antar kelas dalam masyarakat, begitu menonjol.[27]
Menurut Arkoun, yang dimaksud dengan penafsiran yang utuh adalah adalah penafsiran yang melihat keterkaitan dimensi bahasa, pemikiran dan sejarah. Untuk mejalankan penafsiran yang hermeneutik jalan yang ditempuh dengan memilah dan menunjukkan mana teks yang pertama, teks pembentuk dan teks hermeneutik. Arkoun ingin mengembalikan pemikiran Islam kepada wacana al-Qur’anseperti sedia kala yang terbuka terhadap berbagai pembacaan dan dengan demikian terbuka pula terhadap pemahaman. Secara umum peta pemikiran Arkoun digambarkan Faried Essack sebagai berikut; 1) Firman Tuhan sebagai yang transenden, tak terbatas dan tak terjamah oleh manusia secara keseluruhan, dengan beberapa fragmen kecil saja yang diwahyukan lewat Nabi-nabi. 2) Wujud historis firman Tuhan itu melalui Nabi-nabi Israel (dalam bahasa Ibrani), Yesus dari Nazareth dan Muh}ammad (dalam bahasa Arab). Wujud ini dihapalkan dan disampaikan secara lisan dalam waktu yang panjang sebelum dituliskan. (3) Obyektifitas firman berlangsung (al-Qur’anmenjadi teks tertulis) dan kitab suci inipun dibaca oleh kaum yang beriman.[28]
Nasr Hamid Abu Zayd menggunakan analisis bahasa dan sastra untuk memahami pesan-pesan al-Qur’an. Bahasa mempunyai aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan pada masyarakat yang mempunyai kebudayaan sendiri, konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan kulturalnya sendiri. Konteks percakapan yang diekspresikan dalam struktur bahasa berkaitan dengan hubungan antara pembicara dan patner bicara, yang mendefinisikan karakteristik teks pada suatu sisi dan otoritas tafsir di sisi lain. al-Qur’ansebagaimana kitab-kitab lain merupakan bagian dari peradaban teks yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Dalam konteks ini makna bahasa yang telah tertekstualisasikan mengarahkan kita perlunya menganalisis makna dari kata. Dalam perspektif ‘semiotik’, bahasa adalah “penanda” yang terkait dengan yang ditandai. Bagi Ferdinand de Saussure, bahasa sebagai sistim ganda itu hanya bisa dapat dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bila pengekspresikan atau menyampaikan ide-ide atau pengertian tertentu.
Teks al-Qur’andalam konteks linguistik, juga merupakan sistim tanda yang mempresentasikan ide-ide sebagai tandanya. Unsur-unsur kalimat yang ada di dalamnya juga harus dipahami dalam hubungan sintagmatis atau asosiatif. Sebab, dengan demikian makna kata akan ditemukan dalam konteks kalimatnya. Sebab bisa saja secara bahasa makna itu memiliki arti yang sama, dan bukan berarti dalam hal fungsi maupun makna istilahnya sama. Semua kata berasal dari proses linguistik yang berangkat dari sejarah lisan manusia. Nasr Hamid mencoba memasukkan masalah bahasa sebagai salah satu piranti dalam kajian atas teks-teks al-Qur’an.[29]
Muhammad Shahrur, sebagai seorang yang mendapatkan gelar doktor di bidang teknik, setelah menekuni filsafat dan linguistik, mencoba merambah wilayah ‘Ulum al-Qur’an. Tepatnya setelah ia meluncurkan karya magnum opusnya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah yang menggunakan pendekatan linguistik modern. Dalam bukunya ini Shah}rur sering menggunakan metafora dan analogi dari ilmu teknik dan sains. Shahrur berusaha melakukan dekontruksi sekaligus rekonstruksi terhadap berbagai konsep, teori dan paradigma yang telah mapan menjadi mainstream pemahaman, pemikiran bahkan keyakinan mayoritas umat Islam.
2.     Hasil Penafsiran al-Qur’an Dengan Cara Hermeneutik
Mengadaptasi dari model kategori Abdul Muqsith Ghazali, maka menurutnya terdapat tiga model penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir, yaitu: al-tafsir al-harfi al-lughawi (tafsir tekstual-skriptual), al-tafsir al-siyasi al-tarikhi (tafsir-kontekstual-historis dan al-tafsir al-taharruri (tafsir transformatif). Jika jenis tafsir yang pertama merupakan tafsir mainstreim mulai dulu sampai sekarang, maka jenis yang kedua dan yang ketiga adalah jenis yang marginal, tidak populer dan memang baru dirintis belakangan, selain itu menimbulkan banyak kontraversi. Bahasan ini difokuskan pada jenis tafsir yang kedua, tafsir konstektual-historis dan jenis tafsir yang ketiga, tafsir tranformatif. Kedua model tafsir ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran hermeneutik.
a.      Al-Tafsîr al-Siyaqi al-Târikhi (Tafsir Kontekstual -Historis)
Baik Arkoun maupun Nasr Hamid, memiliki pendapat yang hampir sama tentang posisi al-Qur’an, menurut keduanya, al-Qur’an“terkonstruk“secara kultural dan “terstruktur” secara historis, artinya disamping memproduk budaya Al-Qur’an juga produk budaya. Jelas pendapat ini menurut sebagian besar umat Islam telah mengancam sakralisasi al-Qur’an dan Kenabian. Tapi menurut Arkoun, studi ilmiah terhadap kitab suci tidak akan mengurangi kesucian atau melecehkannya. Justru bisa memahaminya lebih baik terhadap manifestasinya dan trasformasinya.
Contoh tafsir kontekstual-historis, misalnya, Nasr Hamid memberikan difinisi yang agak berbeda dalam konsep ta’wil. Ta’wil bagi Nasr Hamid adalah sisi lain dari teks.Ta’wil menjadi salah satu mekanisme kultural dan peradaban yang penting dalam melahirkan pengetahuan. Bagi Nasr Hamid ta’wil berbeda dengan tafsir, yang pertama (ta’wil), berkaitan dengan istinbat (penggalian makna) yang menekankan pada pembaca atau penafsir teks dalam mengungkap makna internal teks. Sebaliknya, yang kedua (tafsir) berdasarkan pada dalil atau riwayat dan hanya pada sisi eksternal teks. Ta’wil adalah pembacaan yang produktif dan obyektif.
Dengan konsep Ta’wil Nasr Hamid demikian itu, bisa dilihat dari hasil pentakwilannya atas beberapa tema dalam al-Qur’an; pertama, dalam ta’wilnya tentang isra’ mi‘raj adalah perpindahan (hijrah) dari Makkah ke Madinah. Yang dimaksud dengan masjid al-Aqsa di situ tak lain adalah masjid Madinah. Sedangkan malaikat baginya adalah, “duta sistim dan pengontrol sunnah Tuhan”. Bila takwilan itu disanggah dengan sujudnya malaikat pada Nabi Adam, dia justru mengatakan bahwa,”makna sujudnya malaikat atas manusia, itu berarti dia (malaikat sebagai duta sistim dan dan pengontrol sunnah alam) menyimbolkan tunduknya alam pada manusia, “sementara bila dibenturkan dengan ayat yang bercerita tentang malaikat yang memiliki dua, tiga atau empat sayap, dia akan mengatakan bahwa, ”itu melambangkan kecekatan malaikat dalam menjalankan hukum alam dan melaksanakan perintah Tuhan di alam”.
Tentang ayat yang berkaitan dengan perbudakan, Nasr Hamid termasuk orang yang mengingkari fakta adanya perbudakan. Maka dia menakwilkan setiap ayat yang berbicara tentang perbudakan sesuai dengan kecenderungan berpikirnya. Dalam ayat yang berbicara tentang dibolehkannya menikahi budak yang dimilikinya, dia mengatakan, “Ayat itu menunjukkan perhatian al-Qur’anatas pembantu. Disini terdapat indikasi memudahkan pernikahan bagi mereka yang tidak punya nafkah untuk teman serumahnya. Ayat ini merupakan sanggahan bagi mereka yang punya pembantu atau budak, dan lantas menjalin hubungan layaknya suami isteri, dengan alasan mereka telah terbeli dengan upah ataupun sedang menjadi tawanan perang. Dalam Islam tidak dihalalkan menyetubuhi seorang perempuan tanpa ikatan pernikahan, entah ia seorang budak ataupun orang yang bebas.”
Dalam ayat yang berkaitan dengan hukum potong tangan bagi para pencuri, dia menakwilkan,”yang dipotong tangannya adalah mereka yang terbiasa dan berulang-ulang saja dalam melakukan tindak pidana pencurian”. Artinya, pencurian sudah menjadi sifat yang melekat pada diri seseorang . Dari makna ini jelas, bagi mereka yang mencuri sekali dua kali dan tidak pula menjadi kebiasaan, tidak diganjar dengan hukum potong tangan. Sebab, potong tangan ini tujuannya untuk melumpuhkan pencuri tersebut; dan hanya berlaku ketika sudah tidak ada jalan lain untuk mengobati wataknya. Sementara ayat yang berbicara hukum cambuk bagi mereka yang pezina, dia mengatakan, “ini berlaku untuk laki-laki atau perempuan yang tertangkap basah melakukan zina, dan perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan dan watak mereka”.[30]
Model tafsir kontekstual-historis ini, contohnya banyak ditemukan pada pemikiran Islam liberal Indonesia, yang antara lain sebagaimana yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla, dalam penafsiran agama, dan dalam rangka menuju ke arah kemajuan Islam. Ulil memberikan konsep sebagai berikut; Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansional, kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berkembang. Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat dan mana nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak. Islam yang kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilai yang universal harus diterjemahkan dalam konteks-konteks tertentu. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Sebagai contoh adalah soal jilbab, potong tangan, jenggot, jubah, tidak usah diikuti. Ketiga, Umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai ‘masyarakat’ atau ‘umat’ yang terpisah dari golongan lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan dan tidak berlawanan dengan Islam. Larangan kawin beda agama antara muslim dan non-muslim sudah tidak relevan lagi. Keempat, dibutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi, sementara pengaturan kehidupan publik sepenuhnya merupakan hasil kesepakatan masyarakat, Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik.
Secara rinci pendapat Islam liberal ini bisa kita temukan dalam buku Fiqih Lintas Agama, berikut argumen yang ditampilkan, “sebaik-baik agama adalah kehanifan yang lapang. Dasarnya adalah, Kemudian kami wahyukan kepada engkau (Muhammad), hendaklah engkau ikuti ajaran (millat)Ibrahim sebagai seorang yang hanif. Dia bukanlah tergolong orang yang musyrik. (QS,16:123). Karena semua agama berasal dari ‘dasar’ itu, namum kemudian terjadi perkembangan baru pada agama-agama, yang tidak selamanya sama dengan kemurnian dasar tersebut. Sebagian dari karakteristik kehanifan itu ialah kelapangan (samahah) yang tulus dan bersih, fitri dan alami. Kemudian keterangan ini diperkuat dengan statemen bahwa semua agama adalah ‘kepasrahan kepada Tuhan”[31], inilah yang oleh sebagian umat Islam dipahami sebagai penyamaan semua agama. Menurut Imron AM, ada dua macam kepasrahan (ketertundukan), ketertundukan alamiyah dan ketertundukan diniyah atau imaniyah. Ketertundukan alamiyah ialah ketertundukan makluk ciptaan Allah atas hukum alam (kausalitas) yang dalam al-Qur’andisebut sunnatullah, tidak ada makluk jenis apapun yang bisa menolak ketentuan itu. Sedangkan ketertundukan secara diniyah/imaniyah adalah ketertundukan manusia dengan sadar karena perintah Allah, yang diimani keberadaan-Nya, melalui wahyu yang diturunkan pada Rasul/Nabi. Dengan demikian, menurut Imron AM, selain umat Muhammad hanya bisa disebut ‘muslim’ (orang yang tunduk) dalam artian, “tunduk dan patuh” pada hukum alam ciptaan Tuhan (sunnatullah atau tunduk) ber-Islam pada sebagian perintah-Nya dan mengingkari perintah yang lain.[32]
Tentang perkawinan muslim dan non muslim, Islam liberal pada intinya membolehkan dengan alasan; pertama, tidak boleh mencampur adukkan arti antara mushrik dengan ahl al-kitab, bila Allah melarang mengawini perempuan mushyrik, seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2:221, Janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman,… tidak tepat bila dipahami yang dimaksud dengan perempuan mushrik adalah ahl al-kitab. Yang dimaksud dengan mushrik di situ sama sekali bukan Yahudi dan Nasrani, tapi orang mushrik Arab yang tidak punya kitab suci. Kedua, larangan menikahi mushrik laki-laki maupun perempuan karena dikhawatirkan memerangi umat Islam, kita tahu bahwa ayat itu turun dalam situasi ketegangan antara umat Islam dengan orang-orang mushrik Arab. Dengan demikian makna musyrik di sini lebih mengarah pada mereka yang suka memerangi umat Islam. Ketiga, mushrik sepertinya murni sebagai kekuatan politik, di antara ambisinya adalah kekuasaan dan kekayaan. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah mereka yang sedikit banyak mempunyai persinggungan teologis dengan Islam. Keempat, alasan yang fundamental tentang dibolehkannya kawin beda agama, terutama dengan non-muslim, yaitu ayat yang berbunyi, Hari ini telah dihalalkan kepada kalian segala yang baik, makanan ahli kitab dan makanan kalian juga hal bagi ahli kitab, begitu juga wanita-wanita janda mukmin dan ahli kitab sebelum kalian. (QS,5:5).[33]
b.     Al-Tafsir al-Taharrury (Tafsir Transformatif)
Tafsir Taharrury adalah suatu pembacaan yang memandang perubahan sebagai sarana untuk kebaikan kualitatif yang berujung pada kebaikan mutlak. al-Qur’antidak menjadi ilmu pengetahuan yang diajarkan kurikulum, melainkan menjadi teks yang menghidayahi perubahan. Pada tafsir model ini, al-Qur’antidak diberlakukan sebagai kisi-kisi yang memadati kurikulum di sekolah, melainkan disikapi sebagai teks yang akan memberikan sinaran etik-moral bagi kerja perubahan di masyarakat. Bagi pengguna jenis tafsir model ini, telah jelas bahwa al-Qur’andatang tidak dengan mengabsahkan realitas, melainkan untuk mengubahnya. Berbeda dengan tafsir al-Harfi, yang memandang teks sebagai kebenaran itu sendiri,  dalam tafsir transformatif teks diposisikan sebagai perlambang belaka dari kebenaran yang dikandungnya.
Dengan membaca ayat, seseorang dengan mudah bisa lebih mudah kontak dengan dunia yang universal. Walaupun tidak melulu bisa dikatakan bahwa hanya dengan membaca ayat-ayat saja komunikasi dengan kebenaran unversal dapat dilakukan. Selanjutnya apakah seluruh ayat-ayat dapat dibaca secara transformatif. Dalam tataran ini perlu dilakukan kategorisasi. Pertama, terhadap ayat yang bertalian dengan ibadah mahd}ah, yang bersifat ritualitas bisa langsung diimplementasikan.Ini karena nilai efektifitas sebuah ritual tidak bisa obyektif. Sampai kapanpun, ia terus berada dalam medan subyektif. Dan keberhasilan sebuah ritus tergantung pada kesiapan ‘ruangan dalam’(ruhaniyah) para pelakunya bukan dalam bentuk ritus itu sendiri. Kedua, terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan ranah muamalah, kita harus membacanya secara transformatif. Kalau pada kondisi tertentu teks muamalah diduga kuat tidak lagi efektif sebagai sarana pencapaian kemaslahatan semesta, maka modifikasi boleh, bahkan harus dilakukan. Namun, modifikasi yang dimaksud harus tetap berlandaskan tetap pada tumpuan pada gagasan dasar ayat tadi. Modifikasi tidak sekedar mengabsahkan dan mengikuti kemauan yang tengah menjadi trens, melainkan modifikasi yang lebih berdaya guna bagi usaha mewujudkan pesan unversal yang menjiwai ayat tersebut.Terdapat pemikir muslim kontemporer yang konsen pada jenis tafsir ini, seperti Farid Esack, Asghar Ali Engineer, Gus Dur, Masdar Farid Mas’udi.[34]
Farid Esack, menawarkan teologi pembebasan dalam rangka menuju tafsir transformatif, dengan menawarkan hermeneutika pembebasan yang dimunculkan dari perjuangan rakyat Afrika Selatan demi kebebasan dan juga dari al-Qur’an. Untuk itu Esack mencoba mengelaborasi kata-kata kunci: taqwa, tawhid, Al-Nas, al-Mustad‘afun, jihad, ‘adl dan qist}. Taqwa adalah term yang paling komprehensif, inklusif dan aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan manusia, dengan taqwa, individu dan komunitas memikul tugas kenabian dalam transformasi dan pembebasan. Tawhid, kesatuan Tuhan untuk kesatuan manusia, tawhid adalah pondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam. Ia adalah jantung pandangan dunia sosio-politik, dan tumbuh secara meyakinkan dalam revolusi Iran. Tawhid oleh para penafsir di Afrika Selatan digunakan untuk melawan pemisahan antara agama dengan negara dan apartheid sebagai ideologi. Al-Nas, manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi. Bagi masyarakat Afrika Selatan mempunyai dua implikasi hermeneutika, (1) Ia menjadi essensi bahwa al-Qur’andiinterpretasi dengan cara yang memberikan dukungan pada kepentingan rakyat secara keseluruhan mayoritas daripada minoritas, (2) Interpretasi harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi kemanusiaan dan berbeda serta sering berlawanan dengan minoritas istimewa. Al- Mustad‘afun, adalah kelas tertindas, marginal. Nabi Muh}ammad berasal dari keluarga petani dan kelas pekerja, demikian juga Nabi-nabi Abrahamic, berasal dari petani dan penggembala domba. Mereka bertujuan mewujudkan tatanan sosial egaliter, mereka menghapuskan ketidak-adilan sosial maupun ekonomi. Jihad, adalah ‘perjuangan dan praktek’ praktis artinya tindakan sadar oleh komunitas manusia yang mempunyai tanggung jawab atas determinasi politik yang didasarkan atas realisasi bahwa manusia menciptakan sejarah. ‘Adl dan Qist}, keadilan dibangun atas dasar Tawhid dan jalan menuju taqwa. Keadilan adalah ukuran untuk melakukan perjuangan pembebasan.[35]
Ali Ashgar Engineer dalam bukunya, Matinya Perempuan Mengupas Mega Skandal Doktrin dan Laki-laki, memberikan kupasan-kupasan kritis dan dekontruksionisatas oaham keperempuan dalam Islam. Ia sangat concern terhadap persoalan gender, kemudian membangun kerangka berpikir yang jauh dari taklid. Metodologinya dikenal dengan metode ‘arkeologi’, adalah menguarai lagi debu-debu sejarah yang menutupi sejarah suatu tradisi sehingga terkuaklah wujud asalnya dan dari situ barulah dikonvergesikan dengan wujud kesejarahan masa kini. Sementara arkeologi dogmatis yang dilakukan Asghar adalah menekankan pada penguraian-penguraian kembali (rekontruksi) teks-teks al-Qur’andan Hadith yang memberikan identifikasi kultural tentang “bagaimana sesungguhnya pandangan Islam tentang perempuan”. Identifikasi tersebut menelisik jauh ke belakang, dari asal-muasal penciptaan laki-laki dan perempaun (seperti nafs wahidah) yang memunculkan berbagai interpretasi yang kontraversial dalam berbagai entitas yang bersinggungan dengan dinamika hidup dan peradaban manusia. Seperti poligami, anak-asuh hingga konteks sosial, politik dan ekonomi.
Apa yang dilakukan Asghar ini tidak sia-sia, ia menemukan konklusi yang sangat mengejutkan: betapa bangunan hukum yang kita kenal selama ini (yang menafikan eksistensi perempuan) merupakan buah megaskandal yang panjang antara doktrin dan laki-laki. Itulah yang telah menyebabkan persepsi kita terkondisikan secara geneologis dan historis untuk selalu memandang perempuan sebagai “makluk lemah dan emosional” sedangkan laki-laki “makluk kritis dan rasional”. Megaskandal itulah penyebab “matinya perempuan”.
Dalam kaitannya dengan poligami, Asghar menyimpulkan, bahwa kiranya jelas al-Qur’aningin berlaku adil terhadap perempuan dalam semua tingkatannya dengan mendobrak nilai-nilai sosial yang berlaku, tapi laki-laki menggelincirkan proyek al-Qur’andari relnya terhadap interpretasi ayat yang mengisyaratkan monogami. Dengan demikian jelas bahwa al-Qur’an tidak menyatakan pembolehan umum kepada siapapun untuk beristeri empat. Perkawinan dengan lebih dari satu perempuan dibolehkan dengan syarat berlaku adil dalam tiga tingkatan: jaminan penggunaan kekayaan anak yatim dan janda secara layak, jaminan berlaku adil kepada semua isteri dalam masalah materi dan jaminan memberikan cinta dan kasih sayang yang sama kepada semua isterinya secara adil.[36]
Masdar Farid Mas’udi sebagai salah seorang cendekiawan muslim brillian, mencoba melakukan tafsir transformatif dalam hubungan pajak dan zakat. Selama ini pajak dan zakat telah terlanjur mempunyai definisi, makna dan visinya sendiri-sendiri. Akibatnya, dalam praktek sehari-hari, zakat dan pajak dipahami sebagai konsep yang berlawanan. Yang satu (zakat) dipahami sebagai doktrin agama dengan muatan fikih dan teologis yang kuat. Sementara (pajak) dipahami sebagai kewajiban rakyat yang dibebankan oleh negara. Bagi mereka yang ingin menyatukan kedua konsep itu memiliki alasan: pertama, zakat sebagaimana pajak merupakan kewajiban yang harus diambil secara paksa oleh lembaga tinggi (departemen pajak) yang dibawahi negara, kedua, baik zakat maupun pajak mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu perlindungan dari pihak penguasa sebagai imbalan dari pembayaran pajak/zakat, ketiga, baik zakat maupun pajak memiliki tujuan sosial yang sama, yaitu untuk mendistribusikan harta kekayaan rakyat untuk kemaslahatan bersama.
Penyatuan zakat-pajak ternyata memiliki implikasi positif yang bukan hanya untuk pemerataan ekonomi rakyat, tetapi juga untuk kontrol politik terhadap negara. Pendapat ini dikemukan oleh Masdar Farid Mas’udi, menurutnya, zakat adalah konsep pajak dalam Islam, tidak ada pemisahan antara zakat dan pajak. Pada zaman Rasulullah, umat Islam hanya mengenal satu bentuk pembayaran harta (wajib) saja, yaitu zakat. Kemudian, karena perkembangan zaman, zakat itu menjadi pajak, sayangnya umat Islam telah memisahkan kedua konsep tersebut sedemikian rupa. Sehigga,timbul kesan yang mengeluarkan pajak seolah membayar untuk kepentingan dunia, tidak mendapat pahala ukhrowi. Untuk itu, Masdar menyarankan setiap membayat pajak juga diniati dalam hati untuk berzakat.[37]
3.     Hermeneutika Sebagai Metode tafsir
Selain tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu yang membantu dalam menafsirkan juga sudah terwujud dengan sangat mapan. Kajian lebih khusus dan sistimatis mencakup berbagai aspek tentang al-Qur’an, seperti al-qira’ah (ragam bacaan al-Qur’an), tarikh al-Qur’an (sejarah al-Qur’an), al-nasikh wa al-mansukh (ayat-ayat yang menghapus dan dihapus), amthl al-Qur’an (perumpamaan-perumpamaan al-Qur’an) dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu yang disebutkan di atas harus dimiliki oleh para mufassir. Karena itu, isi kandungan al-Qur’an tidak bisa ditafsirkan semena-mena. Para mufassir harus memiliki kredibilitas supaya tidak menyebabkan penyimpangan dalam penafsiran.[38]
Berbeda dengan sejarah tafsir yang begitu mapan, hermeneutika muncul dalam konteks peradaban barat, yang didominasi oleh konsep ilmu yang skeptis. Karena itu konsep yang ditawarkan oleh hermeneutika tentang makna, kandungan, teori hermeneutika itu sendiri terus-menerus mengalami perubahan, perbedaan bahkan pertentangan. Konsepo Schleirmacher, seorang teolog Protestan modern, misalnya telah diubah dan dikritik oleh para hermeneut yang lain, seperti Dilthey, Gadamer, Habermas dan lain-lain. Teori mereka atas hermeneutika dibangun atas spekulasi akal. Karena itu konsep dan teori mereka tidak akan jelas sebagaimana dalam tafsir dan hadist. Hermeneutika selalu mencari kebenaran dan tidak pernah berhenti mencari. Hasilnya, kebenaran tidak akan pernah dijumpai karena proses mencari yang tanpa henti.
Dengan kenyataan tersebut, harus dipahami bahwa dalam perspektif apapun, termasuk dalam perspektif hermeneutika, dilarang menjadikan tafsir al-Qur’an sebagai subyek bebas nilai yang menafikan nilai-nilai absolutisme dan eternalitas al-Qur’an sebagai Firman Allah. Karena itu, diperlukan semacam prinsip-prinsip pemahaman terhadap teks yang sudah mapan seperti tafsir dan Ta’wil yang telah dirumuskan para ulama terdahulu. Al-Qur’an harus dipandang istimewa dibandingkan dengan teks-teks yang lain dan harus dipahami prinsip dasar al-Qur’anadalah keinginan Tuhan menjadikan manusia lebih baik.
Tidak semua konsep-konsep hermeneutika harus ditinggalkan, tapi dalam menggunakan metode hermeneutika harus mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami al-Qur’an. Pertama, al-Qur’anadalah dokumen tekstual manusia yang sekaligus sebagai petunjuk hidup manusia di dunia dan akhirat. Kedua, sebagai petunjuk, maka pesan-pesan teks al-Qur’anbersifat universal dan abadi. Ketiga, al-Qur’an diturunkan dalam situasi kesejarahan bangsa Arab, yang bukan berarti hanya berlaku pada waktu itu, tapi konteks sejarah harus dilihat sebagai apresiasi Tuhan kepada manusia agar dapat memotret masa depan denga teks al-Qur’an. Keempat, teks ini mengandung ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat. Kelima, pemahaman akan makna ideal-moral dari al-Qur’anmutlak harus dilakukan. Keenam, penafsiran al-Qur’anyang bersifat analisis logis harus hanya bersifat akademis murni, tidak diproyeksikan untuk kebutuhan-kebutuhan kontemporer. Dan ketujuh, tujuan-tujuan moral al-Qur’an harus menjadi pedoman bagi penyelesaian problem-problem sosial.[39]
Untuk mewujudkan tujuan itu, sebenarnya konsep metode tafsir maudu‘i yang hampir mendekati corak hermeneutika ini. Dengan mencari tema-tema tertentu, kemudian mencari ayat-ayat yang relevan dimungkinkan akan terjadi pembahasan yang tuntas dan masuk pada wilayah kosong yang belum tuntas dibahas oleh ulama terhadulu. Sehingga model penafsiran modern dengan kontekstual historis kurang tepat digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an dan model penafsiran transformatif nampaknya hampir mirip dengan metode tafsir maudu‘i.

E.   Sikap Penulis Terhadap Hermeneutika
Hermeneutika merupakan teori penafsiran yang digagas oleh Barat. Dilihat dari sisi historisnya hermeneutika digunakan sebagai piranti menginterpretasi Bibel yang banyak versi waktu itu. Perdebatan panjang mengenai layak-tidakkah hermeneutika dalam menafsiri Alqur’an sudah menjadi pelik. Ada yang beranggapan hermeneutika tak ubahnya pengembangan ulum Alqur’an atau exegesis yang selama ini telah diwarisi mufasir tempo dulu.
Hermenutika mempunyai banyak mazhab. Mazhab objektifis, subjektifis dan kelompok diantara keduanya. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kemudian apakah sebuah teori bisa diaplikasikan dalam Alquran atau tidak, tergantung mazhab yang mana. Seperti contoh Gadamer adalah contoh mazhab kelompok diantara keduanya.
Objektifis sebenarnya juga bisa diaplikasikan namun belum lengkap, seperti Scheimacher. Kemudian  Hermenutika gramatikal dan psikologis juga bisa digunakan. Hermenutika gramatikal artinya ketika orang mau menafsiri teks tertentu harus melakukan analisa  bahasa. Bagaimana bahasa digunakan pada saat teks itu muncul. Antara Alqur’an dan Hadits sama, bagaimana keduanya—pada masa nabi—digunakan. Ini juga berlaku untuk teks-teks suci yang lain. Harus dicek bagaimana pengarangnya menggunakan istilah tertentu dan bagaimana istilah itu dipahami pada masanya. Sedangkan yang psikologis seperti teori Schleiermacher tidak bisa diaplikasikan secara totalitas. Tentunya kita tidak mungkin untuk mengetahui sepenuhnya psikologi Tuhan. Namun ketika seseorang berusaha memahami sebuah teks harus memahami faktor sejarah seperti bahasa dalam ulum Alquran-nya, seperti asbabun nuzul. Seseorang tidak bisa memahami teks tertentu termasuk Alquran tanpa memehami aspek kesejarahan. Karena itu inti mekanisme kerja hermenutika psikologis. Kalau kaitannya menggunakan hermeneutika, tidak semua mekanisme dalam hermeneutika bisa diterima dan ditolak.
Setiap penafsiran selalu dipengaruhi oleh masanya atau kapan orang menafsirkannya. Hermeneutika mencoba mereaktualisasikan pembahasan tertentu. Kalau kita kembali pada definisi hermeneutika secara luas yang mencakup  empat tadi, tafsir (sebenarnya-red) bagian dari hermeneutika. Maksudnya ketika bicara hermeneutika berarti membincangkan penafsiran. Tafsir termasuk hermeneutika, meskipun dalam hermeneutika mencoba untuk menimbulkan nuansa baru dan mencoba untuk mengkaitkan antara horizon penafsir dan teks itu sendiri.
Sebenarnya arah yang dalam study teks yang diinginkan oleh hermeneutika yaitu penafsiran sesuai dengan zamannya dan harus ada nuansa baru. Tidak hanya membolak balik khazanah lama. Dan itu menjadi konskuensi dari gabungan antara subyektifitas dan obyektifitas sang penafsir.
 
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Hermeneutika sebagai teori pemahaman berusaha memahami teks-teks, baik teks-teks kitab suci maupun teks-teks profan, dengan pendekatan linguistik, historis, psikologi maupun ontologi. Lebih tepatnya, hermeneutika dalam konteks ini dipahami sebagai, ‘pemahaman atas pemahaman’. Hermeneutika kritis, berusaha menolak asumsi-asumsi kaum idealis dalam hermeneutika teori maupun filsafat, dengan cara mencoba memadukan teori dan pendekatan obyektif dan berusaha keras untuk mencari relevansi dengan ilmu pengetahuan.
2. Jika melihat corak tafsir hermeneutika konstektual-historis, dengan cara menundukkan realitas. Teks harus mengakomodasi realitas, walaupun dengan cara mereformasi teks. Penafsiran Arkoun, Nasr Hamid maupun Islam liberal, termasuk model penafsiran ini yang mengarah tafsir bebas kendali, dengan hasil kontroversial. Menurut peneliti model tafsir seperti ini perlu ditinjau kembali. Tapi, untuk model tafsir transformatif, yang titik tekannya pada ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah yang dibaca secara transformatif, menurut hemat peneliti bisa digunakan, karena tafsir transformatif ini pada dasarnya mirip dengan metode tafsir Maudu’î .
3. Metode tafsir hermeneutika masih bisa digunakan dengan syarat; pertama, seorang hermeneut harus tetap memiliki penguasaan terhadap bahasa Arab dan segala ilmu yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an; kedua, seorang hermeneut bergerak secara tidak langsung kepada al-Qur’an dengan menelaah kitab-kitab tafsir secara kritis dan mendalam, dengan harapan masih ada ruang kosong yang ditinggalkan (belum banyak diungkap) oleh mufassir terdahulu, sehingga bisa dikaji secara mendalam dengan hermeneutika.




DAFTAR RUJUKAN


Abu Yazid, Interelasi Teks dan Realitas dalam Proses Pembangunan Syariat, Aula No.1 Tahun XXVII, Oktober –2004
Adian Husaini, Dkk, Membedah Islam Liberal, Memahami Dan Meyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia, (Bandung, Syaamil Cipta Media, 2003)
Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007.
Adnin Armis, Tafsir Al-Qur’an atau “Hermeneutika Al-Qur’an”, Islamia, Thn.1 No.1/ Muharram 1425 
Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki Transformasi Al-Qur’an Permpuan dan Masyarakat Modern, Akhmad Affandi dkk (terj.), (Yogyakarta: IRCISoD, 2003)
Fahmi Salim, Khitâbât da’wâ falsafah at ta’wîl Al Hirminutiqi Lil qurân, Tesis Magister Tafsir dan Ilmu Al Quran Al Azhar, 2007
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al Quran Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), cet. I
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks Dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta, Qalam, 2002)
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir, terj. Noviantoni Kahar, dkk. (Jakarta: Qisthi Press, 2004)
Imam Chanafi Al-Jauhari, Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, (Yogyakarta, Ittaqa Press, 1999)
Imron AM, Islam Liberal Mengikis Akidah Islam, (Jakarta, Insada, 2004)
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003)
Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Fajar Pustaka baru, Yogyakarta, 2003
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta, Paramadina, 1996)
Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermenutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, (Kairo: IKPM, 2006)
Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai… loc.cit, E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Luthfi Assyaukanie, Politik HAM, Dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)
Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007,
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004)
Nasr Hamid Abu Zayd, Hermenutika Inklusif Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad Mansur, dkk. (Jakarta: Icip, 2004)
Nurcholis Madjid, Dkk, Fiqih Lintas Agama, ( Jakarta: Paramadina, 2004)
Richard E, Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiemacher, Dilthey, Heiddeger, and Gadamar, (Evanston: Northwestern University Press, 1969). 
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Rosihon Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung, Pustaka Setia, 2001 
Sayyed Hossain Nashr, Islamic Studies: Essay on Law and Society, (Beirut: Libeirie Du Liban, 1967)
Taufik Adnan Amal dan Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Press, 1989),
Zakiyuddin Baidhawy, Hermeneutika Pembebasan Al-Qur’an: Perspektif Farid Esack, dalam,Studi Al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Abdul Mustaqim, dkk (et.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)
Zygmunt Bauman, Hemeneutics and Social Sciences, (New York: Columbia University Perss, 1978)


[1] Ada yang membedakan antara hermeneutic (tanpa ‘s’) dan hermeneutics (dengan ‘s’). Term yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah bentuk kata sifat yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai ketafsiran, yakni menunjuk kepada ‘keadaan’ atau sifat yang terdapat dalam suatu penafsiran. Sementara term kedua hermeneutics, adalah sebuah kata benda. Kata ini mengandung tiga arti: a) Ilmu penafsiran b) Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis c) Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran kitab suci. Lihat, Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks Dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta, Qalam, 2002), 20-1. 
[2]   Lihat, Rosihon Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung, Pustaka Setia, 2001), 288. 
[3] Richard E, Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiemacher, Dilthey, Heiddeger, and Gadamar, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 3. 
[4] Imam Chanafi Al-Jauhari, Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, (Yogyakarta, Ittaqa Press, 1999 ), 30. 
[5] Lihat Rosihon Anwar, Samudera,….., 290. 
[6] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta, Paramadina, 1996 ), 25. 
[7] Komunitas JIL (Jaringan Islam Liberal) sebagaimana disampaikan oleh Sukidi dalam penafsiran terhadap teks al-Qur’an dengan menggunakan metode hermeneutika, Lihat, Imron AM, Islam Liberal Mengikis Akidah Islam, (Jakarta, Insada, 2004), 99. Ulil Abshar Abdalla salah satu pentolan JIL, dalam tulisannya di harian Kompas, melontaran dua metode penafsiran ajaran Agama. Pertama, dengan penafsiran non-literal, substansional, konstektual dan sesuai dengan nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Kedua, Penafsiran yang dapat memisahkan unsur-unsur kreasi budaya setempat dan mana yang merupakan nilai fundamentalis. Dari dua metode yang diterapkannya Ulil berkesimpulan bahwa, jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti karena itu hanya ekpresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktek-praktek itu. Jilbab intinya adalah memenuhi standar kepatutan umum. Lihat, Adian Husaini, Dkk, Membedah Islam Liberal, Memahami Dan Meyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia, (Bandung, Syaamil Cipta Media, 2003),78. 
[8] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al Quran Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), cet. I, hal. 13
[9] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal: 88. Lihat juga: Richard E. Palmer, Hermeneutics, interpretation theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, edisi terjemahan Indonesia oleh Mansur Hery dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika, teori mengenai interpretasi, Pustaka Belajar, 2005, hal: 14-15
[10] Fahmi Salim, Khitâbât da’wâ falsafah at ta’wîl Al Hirminutiqi Lil qurân, Tesis Magister Tafsir dan Ilmu Al Quran Al Azhar, 2007, hal. 29. Dalam tradisi yunani nama ini dikenal juga dengan sebutan Mercurius, bahkan dikalangan para pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Lihat: Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 7
[11] Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Fajar Pustaka baru, Yogyakarta, 2003, hal: 5. Sementara Richard E. Palmer dalam Hermeneutics, interpretation theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, membagi tugas Hermeneutika kedalam tiga tugas utama: 1) mengungkapkan kata-kata (to say), 2) menjelaskannya (to explain), dan 3) menerjemahkannya (to translate). Lihat: Richard E. Palmer, Hermeneutics, interpretation theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, edisi terjemahan Indonesia oleh Mansur Hery dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika, teori mengenai interpretasi, Pustaka Belajar, 2005, hal: 16-36.
[12] Lihat: Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermenutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, (Kairo: IKPM, 2006), hal. 111
[13] Hermes sering di identikkan dalam Islam dengan Nabi Idris, orang yang pertama kali mengenal tulisan, teknik dan kedokteran. Di kalangan Mesir Kuno, Hermes dikenal sebagai Thot. Sementara di kalangan Yahud dikenal sebagai Unukh dan di kalangan masyarakat Persi Kuno sebagai Hushang. Lihat: Sayyed Hossain Nashr, Islamic Studies: Essay on Law and Society, (Beirut: Libeirie Du Liban, 1967), hal. 64
[14] Fahmi Salim, loc. cit
[15] Zygmunt Bauman, Hemeneutics and Social Sciences, (New York: Columbia University Perss, 1978), hal. 7
[16] Beberapa ayat yang secara tegas menyebutkan hal ini:
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui (Al Baqarah: 75)
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. mereka berkata: "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya". Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah "sedang kamu Sebenarnya tidak mendengar apa-apa. dan (mereka mengatakan): "Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama… (An Nisa: 46)
Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al Maidah: 13)
Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah ayat-ayat (Taurat) dari tempat-tempatnya… (Al Maidah: 41)

[17] Disarikan antara lain dari: Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai… loc.cit, E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
[18] Metode alegoris juga disebut typology. Intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau informasi teks tetapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk kepada sesuatu di luar teks
[19] Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 8-11. 
[20] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks dan Kontekstualitas (Yogyakarta: Kalam, 2002),11-12. 
[21] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), 34-35. 
[22] Nasr Hamid Abu Zayd, Hermenutika Inklusif Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad Mansur, dkk. (Jakarta: Icip, 2004), ix-x. 
[23] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), xx-xxi. 
[24] Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir, terj. Noviantoni Kahar, dkk. (Jakarta: Qisthi Press, 2004), 232-233. 
[25] Rosihan Anwar, Samudra Al-Qur’an ….., 289-290. 
[26] Abu Yazid, Interelasi Teks dan Realitas dalam Proses Pembangunan Syariat, Aula No.1 Tahun XXVII, Oktober –2004, 59. 
[27] M. Mansur, Metodologi tafsir,…, 107. 
[28] Abdul Chalik, Pendekatan Hermeneutk,…, 99-100. 
[29] Abdul Chalik, Pendekatan Hermeneutik,…..,100-101. 
[30] Al-Banna, Evolusi,…., 146-148. 
[31] Nurcholis Madjid, Dkk, Fiqih Lintas Agama, ( Jakarta: Paramadina, 2004), 30-3. 
[32] Imron AM, Islam Liberal Mengikis Aqidah Islam, (Jakarta: INSIDA, 2004), 67-9. 
[33] Nucholis Madjid, Dkk, Fikih Lintas,…, 160-2. 
[34] Abd Moqsith Ghazali, Menuju Tafsir,….., 51-53. 
[35] Zakiyuddin Baidhawy, Hermeneutika Pembebasan Al-Qur’an: Perspektif Farid Esack, dalam,Studi Al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Abdul Mustaqim, dkk (et.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 205-8 
[36]Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki Transformasi Al-Qur’an Permpuan dan Masyarakat Modern, Akhmad Affandi dkk (terj.), (Yogyakarta: IRCISoD, 2003), 144. 
[37] Luthfi Assyaukanie, Politik HAM, Dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998),62-4. 
[38] Lihat, Adnin Armis, Tafsir Al-Qur’an atau “Hermeneutika Al-Qur’an”, Islamia, Thn.1 No.1/ Muharram 1425, 40-2. 
[39] Lihat Taufik Adnan Amal dan Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Press, 1989), 34-42. 

2 komentar:

  1. al hamdulillah ... buat teman-teman yang nglethes...buat teman lain yang juga nglethes...kita tuangkan anspirasi kita yuukk....haa..haaa.....haaaa.......kamsyahh..

    BalasHapus

 
Designed by Abdul Hobir
Bloggerized by B-CLASS PAI PPS UIN MALIKI | Sponsored by dul_hobir@yahoo.com | Blog Templates created by abdul_hobir 10770031